16

244 22 6
                                    

 
  Lentera Caspian jatuh berdebum ke tanah, bayangan rumput setinggi pergelangan kaki terlihat panjang di batang pohon. Matanya melihat ke belakang, dengan kedua tungkai yang melakukan gerakan langkah seribu—Haruto berjalan membawa sembilah senjata panjang, mengkilap saat cahaya bulan dapat masuk merambat lewat dedaunan, napasnya tersengal dengan degup jantung yang terus meneriakkan yel-yel ketegangan. Dalam keadaan gelap dengan pencahayaan minim dari bulan, Caspian jatuh tersungkur—wajahnya mencium rerumputan, ia mendesis karena rasa sakit di kakinya.

  Ia lekas bangun mengingat Haruto mengejarnya dengan sebilah pisau yang kira-kira ukurannya sekitar delapan puluh tiga centimeter, Caspian berdiri dengan posisi tubuh sedikit membungkuk—matanya tertuju pada segela arah, mencari sosok Haruto yang tiba-tiba menghilang dalam kegelapan, dengan fokus Caspian menggunakan baik-baik kedua pendengarannya. Ia memilih kembali melangkah meski pincang, ia harus mencari tempat persembunyian—saat tak sengaja matanya melihat sebuah semak belukar yang lebat, Caspian berinisiatif untuk bersembunyi di antara tempat itu—yang pasti tidak mungkin mudah ditemukan, ia rela menahan gatal di tempat itu, demi keselamatan nyawanya.

  Di dalam sana, dalam posisi tiarap, mata Caspian terus mengawasi setiap arah demi arah hutan, angin semilir bertiup, membawa suara-suara yang sayup tertelan berisiknya dedaunan. Lagi, saat angin kembali bertiup suara yang meneriaki nama dirinya, nama Doyan hingga nama Edith. Tak salah lagi bagi Caspian, itu teriakan dari Caesar dan Peony—Caspian bergegas keluar dari tempat persembunyiannya, dengan panik berteriak, aku di sini! Apa kalian mendengar suaraku?  Angin berhenti bertiup, tidak membuatnya suara terbawa angin, kecuali memantul di atmosfer—tapi tidak terdengar oleh orang lain.
 
  Caspian merasa waktu tak adil padanya, Caspian terus berteriak, melihat ke sumber suara saat ia mendengar suara panggilan namanya beberapa kali tadi. Sampai suaranya parau, urat leher menggencang kedua telinga menghadang sahutan namun, sekian menit ia melakukan hal itu—tidak ada yang menyahut, bahkan rasanya hutan sepi dengan tiupan angin halus—membuat bulu di seluruh tubuh berdiri, merinding apalagi saat ini, pikiran Caspian hanya menciptakan skenario film horor yang sering ia tonton.

"Caspian," panggil seseorang bernada rendah sembari memegang bahu Caspian.

   Caspian menelan ludah seperti menelan kerikil, tubuhnya melemah dengan gemetar yang menguasai diri. Perlahan ia berbalik, dengan sangsi karena takut dan tak siap dengan siapa ia akan berhadapan. Wajah Caspian seketika pucat, bola bulat sempurna, menatap Haruto dengan wajah dingin tanpa keringat.

  Caspian mundur beberapa langkah, kini otaknya terus mengintruksikan untuk lari, pergi secepat mungkin. Caspian lekas berbalik badan, namun kalap—ketika pisau lipat italy dilempar, mengenai punggung Caspian, sontak membuat anak itu berdiri mematung menahan nyeri—Haruto tersenyum lebar, dipegangnya bahu Caspian yang bergetar, dapat juga dirasakannya jantung Caspian begitu berdegup kencang. Pertama-tama, dicabutnya pisau itu dari punggung Caspian tanpa aba-aba.

  Caspian berteriak, senyaring mungkin tubuhnya menekuk karena rasa perih. Suara teriakan kesakitan itu menggema, membuat mata burung hantu yang bertengger di ranting terbuka lebar. Burung kecil terbang berhamburan, erangan kesakitan terdengar ke telinga dua manusia, mereka saling menatap—membabi buta berteriak memanggil nama tiga temannya, terus berlarian mengiringi bekas suara tadi.

  Haruto menyeret tubuh Caspian, yang kaku tak dapat bergerak akibat tusukan pisau lipat italy tadi tepat mengenai tulang sumsum, rasanya kumpulan saraf sudah tidak berfungsi, otot tubuhnya terasa mati—bahkan darah dari ujung kukunya yang pucat keluar perlahan, disusul dengan hidung, mulut, serta lubang telinga. Caspian benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti kehendak Haruto. Mata Caspian nanar menatap dua sorot lampu senter yang goyang tak stabil—teriakan nama terus mengaung di bawah kesadarannya yang minim, detik demi detik—Caspian jatuh tak sadarkan diri.

FIRST OF VALOR| TREASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang