Dalam sebuah ruangan nuansa putih, Haruto menatap bangunan semacam fantasi dalam pandangan. Haruto mengernyit saat sebuah lagu klasik di putar melalui piringan hitam, bola mata Haruto bergulir mencari sumber suara—seperti menabrak sebuah kabut tebal, mata Haruto perih hingga ia mengucek matanya berkali-kali.Setelah kembali terbuka, ia terperangah melihat sosok anak kecil duduk dengan punggung menghadap ke arahnya, sesekali tangan kanannya bergerak ke atas lalu menyamping dan mengarah mulut. Seperti sedang memakan sesuatu, Haruto jadi penasaran ia melangkah mendekati posisi anak itu, Haruto kembali terdiam saat dilihatnya—dirinya versi kecil sedang memainkan, menganggu semut yang jalan bergerombol.
Haruto versi kecil menyuap semut itu, melalui jari telunjuk dan ibu jari yang saling mengapit. Haruto versi remaja melihat dengan mata kepalanya saat semut yang masih bergerak melepaskan diri masuk ke dalam mulut Haruto versi kecil, menelan tanpa mengunyah. Haruto versi kecil tersenyum nakal ke arahnya, hingga kabut memperburuk kondisi penglihatan Haruto.
Dengan keringat dingin yang membasahi dahi serta telapak tangannya, Haruto terbangun dari tidurnya, napasnya tak teratur membabi buta, pendingin ruangan jelas tak berarti saat ia menoleh dan menyadari benda persegi panjang itu mati. Haruto lekas bangun dan menutup jendela yang terbuka.
Haruto baru ingat, ia tertidur setelah mengobati lukanya, dan lupa menghidupkan pendingin ruangan serta menutup jendela. Matanya memilih mencari mesin waktu, yang jelas tergantung di atas ranjang—lagi, Haruto mendesah sial, benda itu tak berguna, jarum panjangnya bergerak dengan ritme lambat di tempat yang sama.
Haruto keluar dari kamar, suara televisi menyuguhkan pendengarannya, terlihat Mama sedang menonton acara kesayangannya. Sementara Ayah tak terlihat batang hidungnya, entah kemana rimbanya—sudah terhitung dua malam tak pulang, jika malam ini tidak ada, artinya ini malam ke-tiga tanpa kabar apapun dari Ayah.
Haruto melihat dari tempat berdirinya, rupanya pukul sepuluh malam, Haruto terkesiap, mencoba mengingat kapan ia tertidur? Haruto bahkan memilih tidak mengambil pusing perihal mimpi aneh yang ia dapati, ia hanya harus mempersiapkan diri untuk hari esok. Tanpa menyapa Mama, Haruto kembali ke dalam kamarnya, memilih menenangkan diri kendati ia tak bisa melakukannya.
---00---
"Pergi ke cafetaria, dan bawakan aku menu spesial!" suruh Junghwan sembari merangakul Haruto, matanya hanya bisa melihat sesekali tempat yang sudah jadi basecamp tujuh anak nakal ini.
Haruto mengangguk patuh, lekas anak itu pergi sebelum dapat tamparan keras. Haruto berlari secepat mungkin, hingga ia sampai di cafetaria dengan keringat bercucuran serta napas ngos-ngosan. Haruto gelisah saat melihat peminat menu spesial memiliki antrian panjang oleh anak-anak lain, Haruto mencari cara agar ia dapat secepatnya mendapatkan menu itu.
Haruto dengan sengaja membalap antrian, menabrak siswa lain agar menyamping dan tempatnya diambil oleh Haruto. Banyak orang berdumel tak suka, protes karena antriannya dibalap begitu saja—sementara Haruto berusaha tidak mendengar hal tersebut kendati ia juga tak nyaman dengan hal ini, saru per satu dan perlahan Haruto berhasil berhadapan dengan Bibi penjual.
Haruto bergegas menerima apa yang sudah dipesannya, diberikannya sejumlah uang pada Bibi penjual dengan cepat. Dengan cekatan ia berlari kembali, takut Junghwan menunggu terlalu lama—keringatnya membasahi pipi dan memutari dagu meskipun lelah dan sulit mengambil napas Haruto berhasil sampai di tempat awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
FIRST OF VALOR| TREASURE
Mystery / ThrillerMereka bilang, Haruto gila. Setelah mengunyah kecoa. Ia divonis sebagai disabilitas mental, yang ke depannya harus masuk sekolah ABK. Namun hal itu ditolak mentah oleh Ayahnya, dengan keras kepala Ayah Haruto tetap mendaftarkannya pada sekolah swast...