18

234 21 5
                                    


  "Kuserahkan padamu, Jihoon," ucapnya lewat sebuah earphone yang tersambung dengan si penelepon.

Terdengar suara pelan di seberang sana. "Kau yakin?" Tanya Jihoon memastikan.

"Urusanku belum selesai di tempat ini, anggap saja aku berhutang budi padamu. Berhati-hatilah, tikus selalu mengumpat di dalam tanah, tapi kancil yang cerdas tidak mengendus sayuran di kebun Petani," pungkasnya, dengan sirat makna yang terkandung di dalam kalimat terakhirnya.

"Oke, aku paham. Apa langkah selanjutnya yang dilakukan kancil saat menemukan persembunyian tikus-tikus itu?" Tanya Jihoon, bercanda, tapi nada bicaranya tetap terdengar sedang serius.

  Haruto menarik kedua sudut bibirnya yang kaku, bibir pucat itu merekah dengan senyum tipis yang indah. Sisa darah kering di pipinya terlihat mengkerut, keringat dingin juga menetes dari lehernya—kedua tangannya sibuk mengobrak-abrik daging mentah. Jari jemarinya menari mengambil potongan rapi di sela bulu-bulu yang lebat nan halus.

"Cari tahu tempat tinggal Watanabe Junko, setelah kau menemukannya. Jemput aku di lapangan menembak," jelasnya, setelah potongan darah bernoda darah yang mentah masuk ke dalam mulutnya. Lidahnya menyapu bagian noda darah yang tertinggal di bibir bawahnya.

"Aku kucari tahu secepatnya," pungkas Jihoon, hingga detik selanjutnya telepon pun terputus.

  Haruto mengecap, memerlukan banyak kunyahan sebelum ia berhasil menelan. Ia mengambil seekor burung, lalu menggigit bagian dagingnya, meski tak seberapa—bulu-bulu lebat nan halus terasa menggelitik hidung dan pipinya. Haruto mengunyah, hinggga meletakkan burung yang menyisakan bagian kepala. Ia mengambil sesuatu dalam kantong yang terbuat dari daun, senyumnya merekah—karena ia membutuhkan waktu yang cukup lama agar bisa menemukan makanan itu.

  Ibu jari dan telunjuknya saling mengapit saat ia mengambil ujung sayap transparan seekor kecoa, mulutnya terbuka lebar saat menyuap. Rahangnya berayun, isian kecoa itu muntah dalam di atas lidahnya, terasa asin dan pahit saat Haruto mengecap—hal itu terus dilakukannya berulang, sampai sekitar sepuluh kecoa berbeda ukuran tandas. Rencananya, Haruto akan masuk ke wilayah sekolah—setelah Polisi tidak lagi ke tempat itu, Whisper yang mengatakan jika Pak Zhang tewas, hal itu tentu saja menghalangi aksinya—jadi, Haruto harus sedikit bersabar untuk melakukan langkah selanjutnya.

---00---

   Di dalam remang malam, tanpa menggunakan senter saat masuk ke area sampah limbah industri, tidak jauh dari tempat sampah itu. Sebuah rumah yang terbangun seadanya tepat berdiri di sebelah kanan sebelum pembuangan utama—Jihoon memasang sarung tangan sambil terus melangkah, matanya yang tajam memperhatikan baik-baik area rumah itu. Dari kejauhan, terlihat tiga pemuda sedang bersantai menikmati alkohol—Jihoon mencari ide agar ia bisa datang tanpa memunculkan perasaan curiga dari orang itu.

  Jihoon lekas melangkah menyelipkan sebuah pistol di dalam jas hitam yang ia kenakan, langkahnya cepat menuju tempat itu. Seorang Ming menatap penuh selidik dan keraguan, saat Jihoon tepat berdiri di hadapannya, dua temannya lekas menyembunyikan alkohol—mata mereka saling bertemu, sama-sama penasaran dan canggung atas pertemuan itu.

"Apa yang membawamu kemari, Bung?" Tanya Ming, berdiri sambil mengambil gelas berisi miras.

"Kudengar kelompokmu dapat dimanfaatkan untuk melakukan sesuatu," jawab Jihoon, ikut melangkah, mengiringi langkah Ming yang rupanya menuju sebuah bilik.

"Apa yang harus kami lakukan?" kali ini si perokok ikut bersuara, melangkah telat di belakang Jihoon.

"Aku meminta, kau harus membunuh seseorang, bukankah itu keahlian kalian?" Tanya Jihoon, menarik kursi tanpa dipersilahkan oleh Ming.

FIRST OF VALOR| TREASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang