🌻18🌻

13 0 0
                                    

"Oma???"

Begitu menginjakkan kaki di dalam apartemennya, Selena terkejut bukan main saat mendapati Oma telah ada di ruang tengah dan sedang menikmati siaran televisi, saluran yang biasa menyajikan berita-berita politik. Sebelumnya Oma tidak memberitahu jika ia akan datang berkunjung ke apartemen Selena. Padahal selama ini Oma selalu memberitahukan kedatangannya kepada Selena melalui telepon atau sekadar menitip pesan pada Okta, tapi kali ini tidak. Bukankah ini sedikit mencurigakan?

"Kamu sudah pulang?" Oma mengalihkan perhatiannya dari layar televisi ketika Selena memasuki ruangan.

"Ya, Oma." Selena berangsur mendekat ke tempat duduk Oma, lantas menyalami dan mencium tangan wanita tua itu. "Kapan Oma datang? Kenapa nggak memberitahu kalau mau datang?" cecar Selena begitu ia berhasil mengisi ruang kosong di sebelah tempat duduk Oma.

"Baru saja. Tadi kebetulan Oma ketemu teman di dekat sini, jadi sekalian mampir," ujar Oma.

Okta muncul sedetik kemudian dengan menenteng tas jinjing milik Selena. Gadis itu cukup terkejut melihat keberadaan Oma Rosa di apartemen Selena.

"Oma nggak memberitahuku kalau mau datang, Sel," ucap Okta dengan menatap lurus pada wajah Selena. Entah kenapa ia merasa takut jika Selena salah paham padanya. Oma Rosa tidak mengabarkan jika mau datang berkunjung ke apartemen Selena saat mereka berkirim pesan siang tadi.

"Oma memang nggak berencana untuk mampir. Tadi Oma spontan ingin kemari," jelas Oma lagi-lagi menerangkan situasinya.

Untungnya pria yang mengaku sebagai ayah kandung Selena itu sudah berhenti datang sehingga ia tidak perlu bertatap muka dengan Oma. Selena sangat bersyukur untuk hal itu.

"Apa Oma akan menginap?"

"Nggak, ini Oma juga mau pulang. Supir Oma menunggu di bawah."

"Tapi ini sudah malam, Oma."

"Nggak pa pa, Sel. Oma tadi hanya mampir untuk memberikan kamu brownies kesukaan kamu. Sudah Oma masukkan kulkas tadi."

Kue brownies dari toko roti milik Oma memang brownies favorit Selena, tapi Oma tak perlu repot-repot mengantarkannya sendiri ke apartemen Selena. Sudah ada pegawai Oma yang khusus bertugas untuk mengantarkan pesanan pelanggan.

"Kamu sudah makan malam?" sentak Oma yang malah langsung dibalas Okta. Gadis itu baru kembali usai meletakkan tas jinjing Selena di kamar.

"Sudah, Oma. Tadi di lokasi syuting."

"Ya, Oma," imbuh Selena.

"Syukurlah," desah Oma seraya mengangkat tubuh dari atas sofa. "Oma harus pergi sekarang. Kamu jaga kesehatan, ya. Jangan begadang," pesan Oma tak lupa mengingatkan Selena.

"Nggak, Oma. Aku nggak pernah begadang. Pulang syuting aku langsung tidur, kok," ujar Selena membela diri. Lagipula ia pulang dari lokasi syuting juga sudah tengah malam. Tak ada waktu yang bisa ia sia-siakan untuk begadang tak jelas.

"Juga jangan memikirkan apapun. Ingat Selena, kamu sudah berada di jalur yang benar. Kamu harus fokus dan lurus menjalani apa yang sudah menjalani pilihan kamu. Jangan sampai goyah karena hal-hal sepele. Mengerti?"

"Ya, Oma. Aku mengerti," balas Selena bersikap menurut. Bahkan Selena hafal semua itu di luar kepala. Karena Oma terus mengulang kata-kata yang sama, seolah paku yang menancap kuat pada tembok beton.

Selena berjalan menyusul langkah Oma menuju ke pintu. Sedianya ia ingin mengantar Oma, tapi wanita tua itu langsung melarang.

"Kamu istirahat saja, nggak usah mengantar Oma," ujar Oma seketika membuat Selena menahan langkahnya sendiri. 

"Baik, Oma. Hati-hati di jalan."

Selena menutup pintu apartemennya setelah Oma keluar.

Oma Rosa masih tampak cukup bugar di usianya yang ke sekian tahun. Toh, ia juga tak perlu menuruni tangga hanya untuk turun ke lantai bawah. Ada fasilitas lift yang akan menghemat waktu dan tenaganya.

"Apa kamu memberitahu Oma soal Alvaro?" Selena membalik tubuh dan berjalan kembali ke arah ruang tengah di mana Okta sedang duduk sembari memeriksa notifikasi di ponselnya.

Okta menatap Selena, lantas menggeleng.

"Nggak, Sel."

"Kalau nggak, kenapa tiba-tiba saja Oma muncul dan berkata seperti itu?"

"Aku nggak tahu, Sel."

"Bukannya selama ini kamu selalu melaporkan semua kegiatanku pada Oma?" Selena mendesak kembali.

"Memang, tapi masalah Alvaro aku nggak bilang pada Oma, Sel."

"Jangan bohong, Ta."

Okta terasa tertohok. Setelah sekian lama menjadi asisten Selena, baru kali ini ia menemukan sorot tak percaya dari tatapan mata Selena.

"Oma nggak mungkin mengulangi kata-kata itu tanpa alasan, Ta."

"Aku juga nggak tahu, Sel." Okta merasa bersalah, padahal ia tidak melakukan apapun. Perkara cokelat yang diberikan Alvaro pada Selena bukan masalah besar. Jadi, ia memilih tidak melaporkan hal itu pada Oma Rosa.

Selena melepaskan napas kasar. Ia tak mendapatkan pengakuan asistennya dan itu membuat Selena merasa kesal.

"Apa kamu juga melaporkan kedatangan pria itu? Amplop yang dikirimkannya untukku, apa kamu juga melaporkan semua itu pada Oma?" Masih diliputi rasa tak percaya, Selena terus saja mendesak Okta.

"Nggak, Sel." Okta bangun dari tempat duduknya. "Aku nggak melaporkan masalah itu pada Oma. Aku hanya menyimpan amplop itu di suatu tempat agar Oma nggak melihatnya saat datang kemari," ungkap Okta. Pasalnya Selena sembarangan meletakkan amplop berisi foto dan beberapa helai rambut pria itu di atas meja riasnya. Jika Okta tidak mengamankannya, maka Selena bisa mendapat masalah. Siapa yang bisa menduga jika Oma Rosa tiba-tiba muncul seperti tadi? Besar kemungkinannya Oma akan melihat benda itu, kan?

Selena bergeming sesaat. Batinnya sama sekali tak memercayai ucapan Okta, tapi asistennya itu menyangkal semua tuduhan yang ia berikan. Selena tak tahu mesti memercayai pemikirannya sendiri ataukah ucapan Okta.

"Terserah. Aku capek." Selena mengibaskan tangan ke udara, sebelum akhirnya gadis itu berjalan meninggalkan Okta yang masih berdiri kaku di tengah-tengah ruangan.

***

Popularity 🌻#tamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang