🌻23🌻

12 0 0
                                    

"Apa kamu sesibuk itu sampai-sampai nggak mau menelepon Oma?"

Selena gelagapan mendapat telepon dari Oma sepagi ini. Ia masih terlelap ketika ponselnya bergetar dan nyaris jatuh dari atas nakas. Tadi mata Selena setengah terpejam dan tak bisa melihat dengan jelas nama yang tercantum di ponselnya. Dan ia pikir panggilan itu dari Okta. Nyatanya Selena salah besar.

Selena mengucek matanya. Rasa kantuk perlahan memudar dari mata gadis cantik berambut panjang itu ketika mendengar suara Oma Rosa.

"Maaf, Oma. Tapi aku benar-benar sibuk. Aku juga pulang larut setiap hari. Apa Oma marah karena aku nggak menelepon Oma?"

"Nggak. Oma nggak marah, kok. Oma cuma ingin tahu kabar kamu, Sel."

"Oma merindukanku?"

"Tentu saja."

"Aku juga merindukan Oma. Oh ya, nanti kalau aku sudah selesai syutingnya, aku pasti mengunjungi Oma."

"Kamu fokus saja pada pekerjaan. Nggak usah memikirkan Oma. Oma baik-baik saja. Oma sehat. Kalau Oma sakit, Oma pasti akan memberitahu kamu."

"Iya, Oma."

"Jaga kesehatan kamu. Jangan lupa minum air yang cukup dan juga minum vitamin..."

Selena sengaja memperdengarkan deraian tawanya ketika Oma menyebutkan hal-hal yang mesti ia kerjakan untuk menjaga kesehatan.

"Oma seperti dokter saja. Tenang saja, Oma. Okta nggak pernah lupa mengingatkan agar aku selalu minum vitamin. Jadi, Oma nggak perlu khawatir."

"Baguslah kalau begitu."

Percakapan singkat itu berakhir setelah Oma memberikan nasihat. Masih seperti biasa. Kalimat-kalimat serupa dan dihafal Selena di luar kepala.

Seusai meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, Selena bermaksud untuk melanjutkan tidur. Akan tetapi telinganya terlanjur menangkap suara derap langkah memasuki apartemennya. Pasti Okta, batin Selena menebak. Satu-satunya orang yang tahu kode pintu apartemennya selain Oma hanyalah Okta.

Beberapa detik kemudian pintu kamar Selena diketuk dari luar. Lalu pintu terbuka dan muncullah Okta yang telah berpakaian rapi.

"Kamu sudah datang, Ta? Sepagi ini?" Selena menatap jam dinding di kamarnya demi memastikan waktu. Hari memang masih pagi, tapi Okta sudah tiba. Tak seperti biasa.

Okta berjalan ke tempat tidur terlebih dulu sebelum mengatakan maksud kedatangannya sepagi ini ke apartemen Selena.

"Begini, Sel." Okta duduk di tepi ranjang. "Semalam aku sudah mencoba menghubungi kontak pria itu, tapi nggak bisa. Pagi ini aku juga sudah menghubunginya dan hasilnya sama saja. Ponselnya nggak aktif. Rencananya hari ini aku mau pergi ke Subang untuk mencari keberadaan pria itu. Itupun kalau kamu mengizinkan. Kalau nggak, aku juga nggak akan memaksa."

"Apa kamu harus ke sana, Ta?" Selena sedikit keberatan dengan rencana Okta. Tanpa Okta, Selena akan kesulitan melakukan aktifitasnya. Lagipula sebenarnya keperluan Selena untuk bertemu dengan pria itu tidak terlalu mendesak. Masih banyak waktu untuk melakukannya. "Kenapa kita nggak menunggunya? Mungkin dia mematikan ponselnya. Atau mungkin ponselnya rusak dan sedang diperbaiki. Bisa saja, kan?"

"Ya, itu bisa saja."

"Memangnya kalau kamu pergi ke sana dengan siapa?" desak Selena. Kalaupun ia memberi izin, Selena tidak akan tega membiarkan Okta pergi sendirian.

"Ada saudaraku yang bisa mengantarku ke sana, Sel. Dia supir sewaan."

Mendengar ada saudara Okta yang bisa menemaninya pergi ke Subang membuat hati Selena cukup tenang. Tapi, apa Okta benar-benar mesti pergi ke sana?

"Kurasa sebaiknya kita menunggu selama beberapa hari dulu sebelum memutuskan untuk pergi mencarinya," tandas Selena setelah berusaha berpikir jernih. Ia tidak mau terlalu gegabah meski sebenarnya Selena sangat ingin segera bertemu dengan pria itu dan mengorek banyak informasi darinya. Selena bisa menunggu selama beberapa hari ketimbang mengirim Okta ke Subang hanya untuk mencari keberadaan pria itu.

"Tapi kamu bilang ingin segera bertemu dengannya."

"Iya, tapi aku nggak mau menyusahkan kamu, Ta. Aku masih bisa menunggu," ucap Selena kalem. "Kalau memang dia nggak bisa dihubungi, semestinya aku yang datang ke sana untuk mencarinya, bukan kamu, Ta."

"Aku tahu. Tapi, kamu sibuk, Sel."

Selena hanya mengembuskan napas pelan. Kalau saja pria itu tidak mematikan ponselnya, maka Okta tidak perlu merencanakan kepergiannya.

"Kita tunggu saja dulu, Ta. Siapa tahu ponselnya akan diaktifkan lagi nanti."

"Baiklah kalau begitu." Okta menurut saja apa yang dikatakan Selena. Mungkin keputusannya untuk pergi mencari pria itu terlalu terburu-buru.

"Bisa kamu pesankan aku sarapan, Ta? Aku lapar."

Okta mengeluarkan ponselnya dari dalam saku dan segera mengaktifkan layar.

"Kamu mau sarapan apa, Sel?"

"Apa saja. Terserah kamu." Seusai berucap seperti itu, Selena malah menarik selimutnya dan kembali membaringkan tubuh. Selena hendak melanjutkan tidurnya lagi setelah menyuruh Okta untuk memesan sarapan.

***

Popularity 🌻#tamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang