🌧09. Mereka punya cerita🌧

3.9K 350 43
                                    

Meski tidak bahagia, setidaknya kita masih bisa tertawa. Meskipun terpaksa.

Ditemani semilir angin pagi hari yang menusuk kulit terluarnya, Amara menghembuskan napas, kepalanya mendongak tepat setelah gadis itu menaikkan tudung hoodie yang ia kenakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ditemani semilir angin pagi hari yang menusuk kulit terluarnya, Amara menghembuskan napas, kepalanya mendongak tepat setelah gadis itu menaikkan tudung hoodie yang ia kenakan.

Awan mendung menguasai bumantara, mungkin beberapa detik lagi hujan akan kembali menghantam bentala. Gadis itu bersiap, menanti rinai itu turun untuk membangkitkan ketenangan.

Namun, setelahnya Amara sadar. Alih-alih bergembira menanti rinai di dekat halte, bukankah lebih baik ia menghubungi Bumi? Sebab, sejak semalam, setelah terakhir kali bertemu pemuda itu sama sekali tak mengaktifkan ponsel.

Kekhawatiran tentu saja menyambangi pikiran, banyak dugaan tercipta. Namun, Amara yang kelewat optimis itu tak jarang selalu menepisnya.

Kali ini, bukan mengirim pesan chat lagi seperti tadi malam. Gadis itu memutuskan untuk menghubungi si pemuda, jujur saja, entah apa sebabnya, Amara sungguhan merindukan suara serak itu menggaungkan namanya seperti tempo hari.

Ponsel tersambung, gadis itu mendekatkan benda pipih di tangan ke alat bantu dengarnya. Bunyi panggilan tersambung terus berulang, tersaring oleh alat bantu dengarnya. Hingga, hal yang dinanti Amara akhirnya menunjukkan tanda-tanda.

Gadis itu tersenyum."Bumi, yuk sekolah. Gue tunggu di halte deket rumah lo."

"Tumben."

Suara langkah kaki tergesa turut dapat Amara saring lewat alat bantu dengarnya. Gadis itu mengerutkan kening. "Tumben?"

"Hoo. Biasanya lo enggak peduli ama gue. Kelebon setan opo?"

(Kelebon setan opo: kemasukan setan apa).

Amara berdesis, bukan hanya sebab bahasa daerah tak ia mengerti yang kembali Bumi ucapkan, tetapi juga sebab ujaran pemuda itu padanya. "Lo gimana, sih? Masa diajak bareng sama pacar sendiri enggak mau?"

"Anjay, ngambek."

Gadis itu melotot, cukup kaget dengan ucapan Bumi. Seumur-umur, Amara tak pernah mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut Bumi.

"Mulai besok enggak usah bergaul sama Sean lagi! Tuh anak cuma ngajarin lo ngenal kata-kata kaya begitu. Bumi gue yang polos bisa punah kalau begini."

Lengkingan tawa si lelaki mengudara, membalas ucapan Amara tanpa dialog serupa. Gadis bernetra hitam itu melipat tangan di depan dada seraya geleng-geleng kepala.

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang