🌧26. Gagal karena dipatahkan🌧

2.1K 207 9
                                    

Hai, terima kasih sudah sampai dan mau melangkah sejauh ini.

Kita tiba pada titik perihal sebuah usaha yang gagal terlaksana akibat dipatahkan tekadnya.

Seano mendekat, melempar bola basket yang semula sempat berada di tangannya ke arah Sabiru yang nampak termenung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seano mendekat, melempar bola basket yang semula sempat berada di tangannya ke arah Sabiru yang nampak termenung. Pemuda dengan manik cokelat kemerahan itu berjalan mendekat, senyum miringnya perlahan terkulas di bibir ketika melihat Sabiru terhenyak dengan bola basket di telapak tangannya.

"Enggak usah berdiri, duduk aja. Gue mau ngomong," ujar Seano. Laki-laki itu duduk di samping Sabiru yang saat ini tengah memantulkan bola basket di tangannya.

"Ngomong apa?"

Seano menghela napas, kepalanya mendongak, menatap langit cerah di atas lapangan basket. Sudah satu minggu sejak Ocha berpulang, namun situasi kalut di lingkungannya masih sama. Seano tak pernah mendapati senyuman atau suara julid Sabiru yang mengomentari tampilan kawan-kawannya terdengar dan terlihat.

Laki-laki 18 tahun itu masih begitu murung. Bahkan, terkadang Seano mendapati Sabiru yang nyaris tak pernah menangis, akhir-akhir ini sering sekali berbalik badan untuk menghapus air mata saat bersama dirinya dan anggota geng 7 keajaiban dunia yang lain.

"Gue minta maaf, itu yang mau gue ucapin pertama. Alasannya dua, yang pertama karena gue enggak pernah bisa menghargai adik lo saat dia masih ada, kedua karena gue enggak dateng ke pemakamannya Ocha."

"Yang kedua-" Seano menjeda, tatapannya berubah menyorot tak tega. Baru menyebutkan nama, tapi manik Sabiru yang menatap ke arahnya nampak berkaca-kaca. "Gu-gue mau minta lo untuk semangat lagi, Bang. Kepergian itu emang akhir, tapi hanya untuk orang yang berpulang. Bukan untuk kita sebagai pihak yang ditinggalkan."

"Mungkin ucapan lo emang bener, No. Tapi gue enggak bisa bohongin diri gue sendiri, meskipun Ocha beda ibu sama gue, gue tetep sayang banget sama dia, No. Dan gue rasa lo pasti paham maksud gue itu kaya gimana."

Tidak lagi beranjak kemudian pergi begitu saja, Sabiru justru membiarkan tubuhnya bergetar dengan isakan yang lolos dari bibirnya. Ujaran bahwa laki-laki tidak boleh menangis, tidak berlaku lagi untuknya.

"Nangis dulu sepuas lo, enggak usah ditahan. Setelah lo sanggup, kita bicara lagi."

Seano mengusap punggung Sabiru yang bergetar, kepala pemuda itu mendongak, menatap 5 orang yang memilih diam di tempat ke-limanya berdiri.

Bumi menghela napas. "Kalau pun suatu hari dia bisa senyum lagi, gue yakin senyumnya udah palsu. Karena kehilangan itu bukan perkara enteng yang bisa disepelein."

"Udah jam satu, gue samperin Amara dulu." Jenggala nampak beranjak, bermaksud hendak merajut langkah pergi untuk menjemput sang adik yang sekarang ini sedang latihan balet.

"Bang." Bumi menahan, langkah Jenggala terhenti. "Biar gue aja yang nyamperin, ada yang mau gue omongin sama adik lo."

Bumi menoleh ke arah Sabiru. "Kalau nyembuhin diri dari kesedihan enggak bisa lo lakuin, maka lo perlu inget dua hal, Bang. Yang pertama, inget kalau Tuhan enggak pernah menyukai hamba-Nya yang bersikap sedih terus-terusan. Kedua, inget kalau orang tua lo butuh seseorang untuk nguatin mentalnya setelah ditinggalkan. Gue yakin, kalau lo bisa senyum dan nerima, mereka pun akan punya alasan kenapa mereka harus nerusin kehidupan."

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang