🌧32. Kembali terjaga🌧

1.8K 201 21
                                    

Hai, apa kabar hari ini?

Enggak kerasa udah penghujung tahun aja, ya. Kayanya udah hampir 6 bulan juga Hujan dan Rintiknya nemenin kalian :)

Dan enggak nyangka juga Hujan dan Rintiknya bisa dapat 20k pembaca. Jujur, seseneng itu aku saat ini.

Sebelum kalian baca aku mau ngucapin terimakasih banyak untuk kalian yang udah menyukai cerita ini dan mau nemenin Bumi Amara sampai di bab ini. Luv yuu banget pokoknya.

Aku juga ada kabar baik buat kalian. Mulai hari ini dan minggu depan sampai seterusnya, Hujan dan Rintiknya akan di up 2 kali seminggu. Waktunya setiap hari Rabu dan Sabtu. Yeey, seneng?

Oke. Infonya segitu aja, ya. HAPPY READING AND I HOPE YOU ENJOY!! ❤❤

▄🌧▄

Mengenang sesuatu yang menyakitkan, dan terus-menerus membuat fikiran mengingat hal itu adalah cara membunuh diri sendiri secara perlahan.

Tetes demi tetes cairan dari infus itu turun, menuju selang panjang yang membawanya mengalir ke tubuh Bumi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tetes demi tetes cairan dari infus itu turun, menuju selang panjang yang membawanya mengalir ke tubuh Bumi. Amara menumpu dagu, maniknya berkedip pelan, menatap bagaimana damainya Bumi dalam pejamnya.

Laki-laki itu tak terusik bahkan ketika Amara sengaja menyetel lagu dengan volume cukup keras di ruangan itu. Masa bodoh dengan teguran yang mungkin bisa saja ia dapat, Amara lebih meyakini upaya yang ia lakukan ini lebih berpeluang tinggi tingkat keberhasilannya untuk membuat Bumi tersadar.

Lagu 'a thousand years' kesukaan Amara itu terus mengalun secara berulang-ulang. Tanpa rasa bosan gadis itu terus memutarnya sambil menatap raut pucat Bumi yang tak menunjukkan pergerakan hingga detik ini.

"Kalau dalam hitungan ketiga lo enggak bangun, gue bakal selingkuh sama Kak Mahen!" ancam Amara asal.

"Satu."

Amara mengangkat satu jarinya, netra dengan iris mata berwarna cokelat itu nampak sedikit menajam melempar tatapan.

"Dua."

Jarinya terangkat lagi, Amara menyentuh telapak tangan Bumi. Berharap setelah hitungan ketiga lelaki itu akhirnya sudi menggerakkan jemari kemudian terbangun dari efek terlelap oleh obat bius yang ia terima.

"Ti ...." Kepalanya menunduk, menatap pergelangan tangan Bumi yang masih keras kepala tak mau bergerak sama sekali. "Tunggu!"

Kedua netra Amara memicing. Perlahan, ia angkat tangan Bumi ke udara. Ada bekas jahitan tepat di kulit terluar bagian urat nadi. Namun, bukan itu yang menjadi pusat perhatian Amara. Melainkan sebuah gelang berwarna hitam dengan kepala singa kecil di bagian tengahnya.

"Kok gue enggak sadar dia make gelang ini?"

Jemarinya mendarat di atas kepala singa kecil itu. Amara sedikit menarik kemudian mengangkatnya. Kemudian kepala singa itu Amara balik untuk melihat sesuatu dibagian belakang ukirannya.

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang