🌧51. Semua kacau🌧

1.5K 151 11
                                    

Assalamu'alaikum, Hai aku kembali!

Gimana, udah melakukan hal baik di empat hari terakhir ini?

Hari ini enggak lagi sedih, kan? Jangan, ya. Simpan air matanya, orang hebat enggak boleh terlalu sering nangis. Oke? Semangat buat hari ini dan seterusnya!

Oke. Jadi, siap baca babnya?

Siap dibikin nyesek dan greget lagi?

Silahkan ramein kolom komentar kalau ada sesuatu yang mengganggu perasaan kalian. Dan terakhir saatnya mengucapkan, HAPPY READING buat kalian❤ ❤

❁🌧❁

Semuanya perihal waktu. Pun lukamu yang pastinya akan sembuh secara perlahan. Tinggal bersabar, tunggu, dan sadari sekuat apa kamu selama ini.

"Mas, lari! Warung saya kebakaran!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mas, lari! Warung saya kebakaran!"

Perdebatan itu terhenti, kelimanya Sama-sama terkesiap. Kala si pemilik warung memilih berlari keluar dari warungnya sendiri, lima anak muda itu justru masih terpaku menatap asap juga api yang membumbung tinggi di belakang warung.

"Beneran kebakar, Anjir." Sabiru berdesis. Laki-laki itu lantas bangkit, menarik jaket yang dikenakan Seano.

"Keluar! Kita minta bantuan!" Mahendra berteriak, kemudian laki-laki itu menggiring kawan-kawannya agar keluar.

Namun Bumi masih berdiri diam menanti Amara yang sibuk mengambil semua rotinya. Gadis itu memasukkan kembali roti-roti yang ia beli ke dalam kantung kresek, kemudian ia raih tangan Bumi untuk digenggam sebelum kemudian ikut keluar bersama yang lain.

"Ya Allah, gimana ini, Mas? Warung ini satu-satunya penghasilan saya. Ya Allah, saya harus gimana ini?"

Wanita itu menangis, ambruk terduduk dengan perasaan hancur di pinggir jalan. Tak lama kemudian suasana semakin ramai sebab banyak kendaraan bermotor yang menghentikan laju kendaraannya. Juga satpam rumah sakit dan beberapa orang yang melihat kejadian itu.

"Kok, bisa kebakar?"

"Waduh, Mbak Rania, warungmu gimana itu?"

"Saya juga enggak tau, Pak Satpam. Gimana ini Ya Allah?!"

Sabiru yang semula hanya mampu melongo, kini akhirnya encer juga otaknya. Laki-laki itu merogoh saku, berusaha mencari ponselnya.

"Telpon pemadam ini mestinya. Sebentar, sabar, Mbak."

Bumi terdiam di tempatnya berdiri. Ia tatap kobaran api yang membumbung tinggi secepat kilat itu. Menatap pula bangunan warung berbahan kayu yang nyaris hangus terlalap api.

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang