🌧54. Sakit dibalas maaf mana adil?🌧

1.4K 159 44
                                    

Assalamu'alaikum, Hai aku kembali!

Gimana, udah melakukan hal baik di empat hari terakhir ini?

Hari ini enggak lagi sedih, kan? Jangan, ya. Simpan air matanya, orang hebat enggak boleh terlalu sering nangis. Oke? Semangat buat hari ini dan seterusnya!

Oke. Jadi, siap baca babnya?

Siap dibikin nyesek dan greget lagi?

Silahkan ramein kolom komentar kalau ada sesuatu yang mengganggu perasaan kalian. Dan terakhir saatnya mengucapkan, HAPPY READING buat kalian❤ ❤

❁🌧❁

Berdamai yang paling sulit dilakukan adalah dengan luka. Namun, bukan berarti kita tidak bisa melakukannya. Semua hanya perkara waktu.

"Ikat dia! Dasar anak tidak tau diuntung!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ikat dia! Dasar anak tidak tau diuntung!"

Kirana meremat kedua tangannya, wanita itu menatap Bumi berapi-api. Sementara yang ditatap juga tak kalah bengis menatap ke arahnya.

Setelah hal buruk yang lagi-lagi diperbuat oleh wanita itu. Kini, kendati Bumi masih belum bisa mengendalikan tubuhnya yang tremor, laki-laki itu tetap berusaha melawan Kirana juga bawahannya ini sekuat tenaga.

"Dasar setan gila lo!" teriak pemuda itu, sebelum potongan lakban menutup sempurna bibirnya.

Bumi meremat kedua tangan. Tubuhnya bergerak kasar, laki-laki itu memekik tertahan. Sementara telinganya yang masih berfungsi dengan baik dibuat terus mendengarkan raungan Jenggala yang berusaha mendobrak pintu kamar.

"Buka pintunya!"

"Ma, Abi butuh penanganan!"

"Mama enggak bisa kaya gini! Abi masih cucu Mama!"

"Mama!"

Panas sekali rasanya. Hatinya serasa mendidih. Sementara netra Bumi mulai memburam. Laki-laki itu membenci dirinya sendiri. Ia benci pada kondisi mentalnya yang rusak. Juga benci pada keadaannya yang amat menyedihkan setelah semua yang ia punya direnggut paksa oleh Tuhan.

"Gue benci jadi kaya gini!"

"Gue benci jadi gila!"

"Gue benci lo Bumi!"

Netra Bumi terpejam kuat. Tubuhnya masih memberontak. Kala derai tawa penuh kemenangan itu masuk ke rungunya, memori Bumi kembali memutar kejadian beberapa waktu lalu.

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang