🌧53. Satu, terungkap🌧

1.4K 156 34
                                    

Berusaha kuat itu hebat. Tapi, jika kamu lelah, mengeluh pun tidak ada salahnya. Kamu berhak mengeluh, tapi tidak berhak menyerah.

"Kalau masih ada yang sakit bilang ke gue, ya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau masih ada yang sakit bilang ke gue, ya?"

Bumi mengangguk pelan, netranya menyorot nanar ke arah Jenggala. Ada banyak hal yang ingin Bumi katakan. Terutama perihal batinnya yang terasa sakit sekali sekarang ini.

Tapi pemuda itu berpikir ulang, mengadu kepada Jenggala juga tak mungkin bisa merubah sesuatu yang telah terjadi. Mau seremuk atau sehancur apa pun perasaannya saat ini, Jenggala tidak mungkin bisa mengobati yang satu itu.

"Yang satu ini biarin aja. Biar sembuh sendiri."

Kala dirinya belum mampu mencerna, Jenggala nyaris mengudarakan tanya. Namun setelah laki-laki itu mampu memahami maksud perkataan Bumi, Jenggala hanya mampu bungkam setelahnya.

"Demi Tuhan, gue minta maaf, Bumi. Semuanya hancur gara-gara nyokap gue. Enggak ada yang benar-benar bisa diperbaiki, dan gue pun enggak bisa apa-apa."

"Berhenti minta maaf, Bang. Gue emang udah habis, tapi gue enggak pernah nuntut maaf dari orang yang enggak bersalah. Pun dari keluarga perempuan itu yang enggak ikut ngelakuin apa pun."

Jenggala mendekat, ia usap pundak yang telah merosot itu. Sementara di pangkuan Bumi, Abi kini beralih mendekapnya. Anak itu sejujurnya tak mengerti kawan abang baiknya ini kenapa menangis terus tanpa henti, sebab yang mampu Abi pahami hanya beberapa bagian tubuh Bumi yang terluka. Abi pikir, mungkin itu penyebab rasa sakitnya.

"Abang janan cedih, nti yukana pacti cembuh." (Abang jangan sedih, nanti lukanya pasti sembuh.)

Anak itu meniupi wajah Bumi yang terdapat goresan. Luka itu Abi sentuh pelan, memberi tepukan 2 kali di sana.

"Ibuna Abi biyang, kayo yukana dipuk-puk bica cepat cembuh. Makana Abi puk-puk yukana Abang, cupaya cepat cembuh." (Ibunya Abi bilang, kalo lukanya dipuk-puk bisa cepat sembuh. Makanya Abi puk-puk lukanya Abang, supaya cepat sembuh.)

Bumi serta Jenggala tak bisa membalas celotehan polos itu dengan ucapan. Keduanya hanya tersenyum getir. Bumi mengangkat tangan, mengusap surai Abi.

"Orang tua kamu hebat, ya. Mereka bisa mendidik anak sekecil kamu sehebat ini. Makasih udah dipuk-puk."

"Bumi, sebenarnya cuma ibunya yang mendidik dia sampai bisa sepeduli ini sama orang lain. Sementara ayahnya, dia cowok paling pengecut yang pernah ada."

Bumi tak mengerti. Laki-laki itu tak mampu memahami. "Lo kenal sama bokapnya dia?"

Jenggala mengangguk mantap. Tidak peduli Abi akan mengerti atau tidak, namun Jenggala rasa dia perlu mengakui semuanya sekarang. Sebab kendati ditutupi, lambat laun semuanya pasti terbongkar.

"Bukan sekedar kenal. Gue bahkan memahami dia dengan baik."

"Siapa ayahnya?"

Kala pertanyaan itu mengudara dari bibir Bumi, Abi mendongak. Kali ini bocah itu tidak bersuara. Dia hanya diam menyimak layaknya orang bewasa.

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang