🌧11. Senja, luka dan gadisnya🌧

3.5K 299 26
                                    

"Mungkin, Tuhan punya rencana lain untuk membuat kita bahagia selambat mungkin. Dengan kebahagian yang enggak akan pernah selesai setelah itu."
-Amara Nayanika Ganeshia-

"Berarti gue ngidap CIPA gini kayanya gara-gara kedatangan lo yang manja banget minta dikuatin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Berarti gue ngidap CIPA gini kayanya gara-gara kedatangan lo yang manja banget minta dikuatin."

Bumi membeku, matanya mendelik tak suka. Pemuda itu menghembuskan napas kasar setelahnya, seraya meneteskan alkohol pada kapas di telapak tangan. "Jadi lo enggak ikhlas selalu ngasih wejangan tiap hari ke gue? Yaudah, mulai sekarang enggak usah sok nyeramahin."

Tangan Bumi terulur, menempelkan kapas itu pada luka di wajah Amara. Wajah Bumi nampak datar, sehingga Amara tak mampu memahami bagaimana perasaan pemuda itu saat ini.

"Jadi, lo marah?"

"Kalau gue marah, enggak mungkin gue ngobatin lo sekarang," jawab pemuda itu. Kemudian Bumi memberikan obat merah pada luka gadis itu.

Setelahnya, tubuh Bumi sedikit bangkit, mendekat ke arah wajah Amara. Tatapan keduanya bertemu, hampir satu menit dua sejoli itu membeku.

Hembusan napas Bumi terasa hangat di kulitnya. Amara refleks, memejamkan mata ketika Bumi meniupi luka menganga di bawah matanya.

"Sembuh."

Keheningan yang merayap sejak beberapa saat lalu membuat suara Bumi terdengar begitu jelas. Kedua mata yang semula terpejam itu terbuka pelan. Tubuh Bumi sudah kembali duduk, pemuda itu nampak sibuk menggunting kain kasa.

Amara mencoba bersikap senormal mungkin. Gadis itu membuat kepalanya mendongak, iseng mengamati patrian di atap ruang tari.

"Sorry."

Kepala gadis itu berhenti mendongak, tak sengaja bertabrakan dengan kepala Bumi yang maju terlalu dekat. Ringisan si pemuda tersaring oleh alat bantu dengarnya, Amara terkekeh pelan.

"Sakit, tau!"

"Ya, maaf. Gue enggak sengaja, lagian lo deket banget, sih."

Bumi berdecak, kemudian menempelkan kain kasa yang sudah direkati plester ke wajah Amara. "Orang mau ngobatin, kalau enggak deket ya bakal kesusahan."

Setelahnya tangan pemuda itu turun, Bumi bangkit, mengambil salep yang lupa tak ia bawa kemari. Kemudian pemuda itu kembali dengan jari yang sudah diberi salep.

"Dongak dikit," pintanya. Amara menurut saja, agar sesi pengobatan ini cepat selesai.

Bumi mengolesi ke beberapa titik, pergerakannya sungguh hati-hati. Ringisan sama sekali tak keluar dari bibir Amara, diam-diam pemuda itu menatap sendu.

"Sip. Udah selesai." Bumi menjauhkan tubuh setelahnya, pemuda itu pergi dari hadapan Amara. Melangkah menuju sisi kanan ruangan untuk mengambil botol yang ia lempar.

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang