🌧19. Nayanika bersama luka tersakitnya🌧

2.5K 229 10
                                    

Everything is gonna be okay. Sesakit apa pun kita, ingat kalau kita masih punya Tuhan tempat meredakan rasa sakit. Tuhan punya banyak cara untuk memberi seribu alasan kenapa kita harus tersenyum lagi.

"Diskorsing tiga hari?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Diskorsing tiga hari?"

Bumi mengangguk, senyumannya terbit. Pemuda itu menyerahkan satu con ice cream kepada Amara. Sedang satu tangannya mendarat di puncak kepala Amara.

"Ini enggak adil." Amara mendongak, menatap wajah Bumi yang disinari kilatan senja.

Helaan napasnya mengudara. Bisa-bisanya Bumi masih asik memakan ice cream di genggaman saat laki-laki itu tentu saja mampu mendengar decakan Amara barusan.

"Enggak ngerti lagi gue sama lo. Capek tau gue bilangin lo mulu."

Bumi berhenti menjilat ice creamnya. Dia menunduk, menatap Amara yang berhenti bersandar di pundaknya.

Laki-laki itu menghela napas, satu tangannya terangkat untuk merangkai bahasa isyarat.

"Gue mau lawan, tapi perkara skorsing ini pihak BK udah diskusi duluan sama Ayah. Tadi gue nelpon Ayah, beliau bilang hukuman itu udah diringanin. Karena sebelumnya gue mau diskorsing seminggu."

Bumi menggelengkan kepala, melempar senyuman kepada Amara. "Enggak mungkin gue membangkang Ayah. Nanti selama enggak ada gue, jaga diri baik-baik. Berhenti buat masalah, oke?"

Amara cemberut, gadis itu menjilat ice creamnya ogah-ogahan. Berada di sekolah tanpa Bumi 3 hari ke depan, rasanya pasti sangat sepi.

"Terus yang nemenin gue latihan nari siapa?"

Bumi Mengedikan bahu. Untuk yang satu ini dia tidak memiliki solusi. Terpaksa, Amara harus berlatih sendirian selama 3 hari nanti.

"Nanti berangkat sekolahnya gue jemput. Kita naik bus bareng-bareng, terus pulangnya gue tunggu di sini."

"Emang bisa keluar sendiri? Udah berani sekarang?"

Bumi mengangguk. Laki-laki itu sepertinya tertawa, dilihat dari deretan gigi rapi itu yang kembali si pemuda tunjukan kepada Amara. Tangan Bumi terangkat, mengacak lagi surai Amara hingga berantakan.

"Bisa. Demi lo."

"Dih!" Amara memukul lengan Bumi. Gadis itu tertawa, kepalanya bergulir, mata gadis itu berubah menatap jalanan lenggang di sore yang cerah ini. "Gombal aja lo."

Bumi mengudarakan tawa singkat, kemudian hening menyapa. Amara kembali menyandarkan kepalanya di pundak Bumi. Gadis itu menjilat ice creamnya dengan tenang. Begitu pun dengan Bumi yang kembali diam, menatap lenggangnya jalanan kota sore hari.

Jakarta. Sebuah kota yang ia datangi bersama Arsen, Mentari, Bintang, dan Antariksa dahulu kala. Tepat ketika usianya baru menginjak 5 tahun, Bumi bersama keluarganya memboyong semua pembantunya kemari.

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang