🌧52. Awal hari bersama pilu🌧

1.4K 159 5
                                    

Assalamu'alaikum, hellow!

Kaget dapet notif dari aku? Atau biasa aja?

Tebak kenapa tiba-tiba up lagi:)

Jadi, alhamdulillah hari ini Hujan dan Rintiknya genap 50k pembaca. Aku bener-bener seneng seseneng-senengnya. Enggak nyangka cerita ini bisa dibaca dan disukai banyak orang.

Aku sangat berterimakasih ke kalian yang udah menyukai cerita ini. Terimakasih juga udah support aku. Serius, tanpa kalian aku bukan apa-apa:)

Happy reading ya buat kalian. Kalau bisa penuhin juga kolom komentarnya hehe. Kalian mau marah juga boleh kok, dipersilahkan.

Peringatan: siapin tisu, dan jangan baca di tempat umum.

❁🌧❁

Memang benar, kejahatan dibalas maaf itu tidak adil. Tapi, bukankah akan lebih tenang kalau kita hidup tanpa dikuasai dendam?

 Tapi, bukankah akan lebih tenang kalau kita hidup tanpa dikuasai dendam?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Saya enggak tega bangunin Amara, Om. Dia baru aja bisa tidur."

Suara Seano yang samar-samar tersaring oleh alat bantu dengarnya justru membuat gadis itu terbangun. Kakinya turun dari kursi tunggu. Sementara secara tiba-tiba ada Bianca yang melangkah menghampiri Amara. Gadis 16 tahun itu berjongkok, ia turunkan tudung hoodie yang semula sempat menutupi kepala.


"Bi? Udah dari kapan di sini?"

Tak seperti biasanya, Bianca tersenyum hangat kendati sorot netranya nampak sendu. "Dari jam empat, sama Om Arsen, Mbak Hana, dan Kak Riksa. Mau bangunin Kak Amara, tapi kata Sean lo baru tidur. Jadi gue enggak tega."

"Om Arsen ada di sini?"

Amara menoleh cepat ketika Bianca mengangguk. Sementara Arsen telah melangkah menghampiri gadis itu, kemudian melempar senyum ke arah Amara yang justru malah melukai hatinya.

"Ayah, Maafin Amara." Gadis itu tiba-tiba luruh, bersimpuh di depan kaki Arsen. Kemudian Amara bersujud.

"Ra, jangan kaya gini. Ayo bangun, Ayah enggak mau ngeliat kamu sampai sujud begini."

Amara menggeleng. Dia rasa dia perlu melakukan ini. Sebab Amara merutuki dirinya sendiri yang tak bisa menjaga Bumi dengan baik.

"Maafin Mara, Yah."

"Ayo bangun, Ra. Ayah enggak mau menghakimi kamu. Ayah ke sini untuk menguatkan kamu, untuk nenangin kamu, untuk bikin kamu percaya juga kalau Bumi pasti baik-baik aja di sana."

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang