🌧27. Tumbang lalu kalah🌧

2K 200 16
                                    

Apakah yang sakit jiwa tidak boleh mendapat hak asasinya? Kenapa mereka dikucilkan sedemikian hebat?

"Si Bumi mau ke mana, sih? Masa nih, ya, tadi kan gue ketemu dia, gue panggil tapi enggak nyaut orangnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Si Bumi mau ke mana, sih? Masa nih, ya, tadi kan gue ketemu dia, gue panggil tapi enggak nyaut orangnya. Main masuk lift gitu aja lagi."

Amara duduk di samping Seano yang nampak mengusap punggung Sabiru. Senyuman tulus laki-laki itu terbit beberapa saat lalu, tepat ketika Amara menenggak habis minuman yang gadis itu beli.

"Lah, bukannya si Bumi nyusulin lo ke ruang tari?" Joshua membalas, pemuda itu melempar botol berisi minuman dingin ke arah Sabiru dan Seano.

"Mana? Orang anaknya naik lift tadi, enggak tau mau ke mana."

Mahendra menutup botol minuman dingin itu, dagunya sedikit terangkat, memberi titah kepada Amara. "Telpon coba, kali aja mlipir ke mana gitu tuh anak."

Amara berdecak. "Itu dia masalahnya, HP gue hilang, Kak. Lagian si Bumi enggak mungkin main pergi atau ngilang gini kalau enggak-" Ucapan Amara terhenti, gadis itu memukul paha Seano, tangannya terulur meminta ponsel laki-laki itu secara paksa.

"Buruan HP lo!"

"Iya ... iya, sabar-" Ponsel laki-laki bermata kemerahan itu dirampas oleh Amara begitu saja. Seano mendengus. "Udah dibilang sabar, main srobot aja."

"Nama Bumi di daftar kontak lo siapa?"

"Pribumi," jawab laki-laki kelahiran April itu. Yang sukses mendapat jitakan di kepala dari Amara setelahnya.

"Abis ini ganti namanya yang bagusan!"

"Iya, ndoro ... marah aja terus lo!"

Amara menoleh, menatap ke arah Mahendra selaku yang tertua. Yang gadis itu anggap pihak paling bijaksana. Meskipun kenyataan yang menampar justru berujar sebaliknya.

"Enggak diangkat, Kak," adunya.

"Sini, biar gue lacak hpnya." Seano merampas ponselnya dari tangan Amara. Laki-laki itu mulai mengotak-atik benda elektronik itu, mengabaikan Amara yang nampak misuh-misuh.

"Lo masang gps-"

"Om Arsen yang minta, buat jaga-jaga katanya." Joshua menyahut, Sabiru yang barusan bertanya berakhir manggut-manggut.

"Possesive juga Om Arsen," komentar laki-laki itu.

"Namanya juga anak."

"Ada apa?"

Jaka dan Jenggala yang baru tiba dari ruang osis melempar tatapan penuh tanya. Arah pandang Jenggala tertuju kepada Amara yang terlihat panik. Laki-laki itu memberanikan diri untuk bertanya, "lo udah di sini, si Bumi mana?"

"Enggak tau," balas gadis itu. "Tadi enggak ketemu, gue malah liat dia masuk lift. Enggak tau mau ke mana."

"Ke atap kali. Tuh anak suka banget kan nontonin angin sepoi-sepoi dari sana." Jaka menduga, menaikkan dua alisnya seraya menatap ke arah Amara.

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang