🌧42. Bahu rapuh Bumi🌧

1.6K 175 32
                                    


Assalamu'alaikum, Hai aku kembali!

Gimana, udah melakukan hal baik di tiga hari terakhir ini?

Hari ini enggak lagi sedih, kan? Jangan, ya. Simpan air matanya, orang hebat enggak boleh terlalu sering nangis. Oke? Semangat buat hari ini dan seterusnya!

Oke. Jadi, siap baca babnya?

Siap dibikin nyesek dan greget lagi?

Silahkan ramein kolom komentar kalau ada sesuatu yang mengganggu perasaan kalian. Dan terakhir saatnya mengucapkan, HAPPY READING buat kalian❤

❁🌧❁

Sesakit-sakitnya tubuh, serusak-rusaknya mental, jangan menyerah sebelum Tuhan sendiri yang ingin kamu pulang!

Sesakit-sakitnya tubuh, serusak-rusaknya mental, jangan menyerah sebelum Tuhan sendiri yang ingin kamu pulang!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mas Bumi, mau saya ambilin jaket?"

Bumi menoleh. Seorang asisten rumah tangga berdiri di dekat pintu dengan segelas teh yang masih mengepulkan asap.

Wanita itu melangkah menghampiri meja di dekat tempat Bumi berdiri. Teh hangat itu si wanita letakkan di atas meja, kemudian dirinya melangkah menghampiri Bumi.

"Tehnya diminum, Mas. Udaranya lagi dingin, nanti takutnya Mas Bumi sakit. Mas Bumi kan juga baru pulang dari rumah sakit."

Bumi tak bersuara. Laki-laki itu hanya tersenyum menatap ke arah wanita paruh baya di hadapannya.

Jujur saja, hatinya menghangat mendapat perlakuan yang juga hangat itu. Sebuah perlakuan yang tak bisa dirinya dapat di sekolah juga di masyarakat. Sebab orang-orang selalu menatap Bumi dari sisi mentalnya yang bermasalah. Padahal Bumi tak selalu dibuat gila selama mengidap gangguan ini.

"Terimakasih, Bu. Nanti kalau ambil jaket untuk saya, bisa tolong sekalian bawain HP saya?"

"Bisa, Mas." Wanita itu tersenyum. Kemudian berbalik, lantas berlalu pergi meninggalkan Bumi.

Kini suasananya kembali sunyi. Bumi kembali berdiam diri, menatap ribuan bintang yang menebar elok di langit malam ini.

"Bintangnya bagus."

"Kalau bagus, liat lagi aja."

"Sama lo lagi, 'kan?"

Bumi seketika berhenti menatap langit. Netranya memerah, air matanya perlahan luruh. Kepala laki-laki itu berakhir menunduk dengan bibir yang setengah terbuka untuk meraup oksigen.

Lagi-lagi, sesuatu yang berusaha Bumi buat biasa saja ketika mengingat momennya, justru hal itu malah membuat batinnya lebih terluka dari sebelumnya. Dadanya sakit, napasnya ikutan sesak.

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang