🌧58. Pulang?🌧

1.5K 170 28
                                    

Siapa lagi yang lebih mengerti kamu selain dirimu sendiri? Maka dari itu, jangan pernah dengarkan ucapan buruk orang lain terhadapmu.

Amara mendongak, menatap langit yang telah berubah warna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Amara mendongak, menatap langit yang telah berubah warna. Gadis itu berlalu pergi, membawa langkahnya sedikit menjauh dari banyaknya tangis haru yang terudara.

Amara ikut bahagia sejujurnya, sebab operasi Jaka berjalan lancar. Kendati si pemilik jantung yang mendonorkannya untuk Jaka belum diketahui identitasnya, Amara ikut bersyukur Jaka sudah baik-baik saja.

"Bumi, Kak Jaka udah sembuh. Kapan kembali?"

Lagi-lagi Amara hanya mampu bersuara sendiri. Seraya diam-diam mengudarakan banyak lantunan doa, gadis itu terus berharap ada Bumi yang datang dari kejauhan. Lalu laki-laki itu akan merentangkan tangan, menyambut Amara dalam dekap hangat penuh kenyamanan yang ia punya.

Kiranya, sudah berapa hari Amara sendirian? Sudah berapa hari pula tawa dan suara Bumi tak terdengar?

"Gue kangen, pengen dansa sama lo lagi. Gue rasa kita udah lama enggak ngelakuin itu."

Amara terkekeh pelan, menertawai dirinya sendiri. Namun gadis itu juga meneteskan air mata. Menangisi betapa buruk takdir yang ia punya.

"Apa kita enggak ditakdirin buat bahagia?"

"Siapa bilang? Lo berhak bahagia."

Amara mendongak, bagaimana bisa?

Gadis itu mengedipkan matanya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri juga perihal apa yang dia lihat sekarang.

"Gimana bi-"

Bibirnya gagal mengudarakan tanya. Tangan kekar itu menahan mulut Amara, sementara sang empu tersenyum ke arah gadis itu.

"Ssstt. Gue cuma sebentar."

Tubuh itu bergerak maju, berdiri di hadapan Amara. Dia melempar senyum seraya meraih satu tangan Amara.

"Ini mimpi, 'kan?"

Netra Amara berubah memanas, melihat senyuman Bumi yang terkembang indah alih-alih merasa lega, gadis itu justru dibuat menangis pilu menumpahkan luka.

Amara yakin, ini pasti hanya mimpi. Dia memang ingin Bumi kembali dalam keadaan baik, tapi kalau pemuda itu tiba-tiba ada di hadapannya begini, rasanya tidak mungkin.

"Kenapa nangis? Lupa lagi sama permintaan gue?"

Amara menggeleng, tungkainya bergerak mundur. Gadis itu menolak sentuhan Bumi. Bukan, tidak! Bukan ini yang Amara mau.

Harusnya Tuhan mengembalikan Bumi yang asli, bukan Bumi ilusi. "Lo bukan Bumi. Gue pasti cuma mimpi. Iya, 'kan?"

Air matanya luruh. Amara tak tau sebab pastinya, namun saat ini hatinya begitu sakit. Rasanya ada banyak sekali luka miliknya yang terdesak minta disuarakan.

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang