🌧23. Hujan dan rintiknya🌧

2.3K 217 7
                                    

"Kita layaknya hujan dan rintiknya. Sama-sama saling melengkapi satu sama lain. Sebab hujan tidak akan disebut sebagai hujan jika tanpa rintik. Dan jika aku hujan, maka kamu adalah ribuan rintik milikku."

Helaan napasnya mengudara, Amara kembali mengusap wajah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Helaan napasnya mengudara, Amara kembali mengusap wajah. Ia hapus bercak basah di bawah matanya yang tersisa. Tangan gadis itu terangkat, menyentuh knop pintu dingin di hadapan kemudian membukanya pelan.

Di hadapannya saat ini, berdiri sosok pemuda jangkung yang melempar senyum teduh. Setelahnya, tubuh Amara reflek berjengit akibat hantaman tiba-tiba dari Bumi. Laki-laki itu merengkuhnya, menebar rasa hangat di setiap usapan yang mendarat di punggung Amara.

Kedua mata Bumi terpejam, kepalanya menunduk dengan napas yang ia tarik. Hingga aroma tubuh Amara mampu pemuda itu rasakan.

"Kenapa, tumben tiba-tiba meluk?"

Alih-alih melepaskan, Bumi justru merengkuh tubuh Amara lebih erat. Amara berakhir pasrah, tangannya naik, membalas pelukan itu.

"Lagi-lagi lo bohongin gue, Ra."

Laki-laki itu melepas pelukan, senyuman teduh yang semula Amara dapat masih singgah di bibir Bumi. Kemudian anak itu menunduk. Kedua netranya menatap sebuah paper bag yang terpegang pada salah satu telapak tangan, kemudian pemuda itu mengangkatnya.

Bumi turut mengangkat satu tangannya. "Masuk, terus kita buka di dalam," ujar pemuda itu dalam bahasa isyarat.

"Kenapa enggak di sini aja?"

Bumi menggeleng, pemuda itu menggiring Amara masuk kemudian menutup pintu. Sedang paper bag yang semula ia bawa sudah beralih tuan.

"Isinya apa?" Amara duduk di sofa setelah menyalakan saklar lampu. Gadis itu menatap Bumi yang masih berdiri, dengan arah pandang tertuju kepada vas bunga buatan Amara yang tercecer di lantai.

Kemudian pemuda itu menoleh, tangannya terangkat untuk merangkai bahasa isyarat. "Buka aja, biar tau."

Langkahnya Bumi bawa menuju dapur setelah itu. Pemuda itu termenung di depan rak piring, kepalanya menoleh menatap Amara yang membuka bungkusan itu.

"Cari cewek itu, bawa dia ke sini supaya gue bisa sujud di kakinya! Setelah itu lo harus tanggung jawab!"

Bumi menghela kasar, tangannya terangkat meraih satu mangkuk di rak kemudian ia bawa ke meja makan. Seraya membuka bungkus bubur kacang hijau yang ia bawa, suara teriakan Amara beberapa waktu lalu ketika Bumi baru tiba di tempat ini terus memenuhi kepalanya.

"Gue enggak mau lo dapet dosa karena gue, Gala. Gue mau lo bahagia, enggak sengsara kaya gue gini. Emang bener, gue yang salah di sini karena hadir di hidup lo yang sebelumnya damai."

Bumi menutup mata, telinganya terasa berdengung akibat teror suara Amara yang berputar di otaknya berulang-ulang. Laki-laki itu berdesis, ternyata rasa yang ia alami masih sama. Bumi memang belum sembuh.

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang