🌧17. Kekerasan untuk bertahan hidup🌧

2.6K 227 14
                                    

Hai, I'm back!

Kabar bahagia hari ini?

Semoga yang lagi sedih bisa kembali bahagia, dan yang bahagia enggak dikasih kekecewaan, ya. Amin.

Mau minta maaf, tadi itu kesalahan teknis part 2 yang aku lakuin:) udah sangat capek. Gara-gara salah klik jadi kepublish deh.

Tapi tenang, karena udah terlanjur, sebagai gantinya aku up malam ini sebagai ganti besok Rabu. Soalnya kemungkinan hari Rabu aku enggak bisa up, ujian sekolah soalnya. Doain, ya. Hehehe.

Terakhir, have fun ya bacanya. Pelan-pelan aja biar kerasa. Happy reading ❤

🌧▄🌧

"Jangan mau ditindas kalau lo masih mau hidup. Terkadang kekerasaan diperluin untuk bertahan hidup. Apalagi di Victoria, penangkaran kejam berkedok sekolah."
-Seano Kertajaya Adilaksa-

Seano melihat semuanya, juga mendengar semuanya pula

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seano melihat semuanya, juga mendengar semuanya pula. Sebab, saat tubuh kedua kawannya itu masuk ke UKS dengan luka membiru sangat kentara di wajah Amara, pemuda bermanik kemerahan itu sedang berbaring santai pada salah satu brankar.

Tubuhnya yang semula duduk di tepian brankar ia bawa bangkit, berdiri kemudian merajut langkah menghampiri Bumi dan Amara. Pemuda itu bersidekap dada, dagunya terangkat dengan tatapan angkuh seperti biasanya.

"Pipi lo bonyok kenapa? Jingga?"

Bukan Amara, melainkan Bumi yang mendongak. Pemuda itu berdiri, selepas menempelkan kapas yang telah ditetesi alkohol ke pipi Amara.

"Ngapain di sini? Bukannya masuk kelas. Udah bel." Bumi menunjuk ke arah luar dengan dagunya, turut serta membalas tatapan tak santai milik Seano.

"Kalian juga enggak ada di kelas. Enggak usah sok nasihatin gue! Jangan ngalihin pembicaraan, cewek lo diapain lagi sama pick me nini lampir itu?"

Amara mendongak, menatap Bumi yang sudah berdiri. Tangan gadis itu terangkat, terulur mendekati lengan Bumi. Amara meraih lengan si lelaki, kemudian menggoyangkannya.

Bumi menoleh. Setelahnya, pertanyaan Amara sukses menyambut dirinya. Menyadarkan Bumi pada sebuah realita bahwa, Amara tak bisa mendengar. Gadisnya itu tuli, tak mampu mendengar jika tanpa alat.

"Sean ngomong apa?"

Pertanyaan Amara sukses membungkam Seano begitu saja. Pemuda itu baru menyadari kalau Amara tak memakai alat bantu dengarnya saat ini.

Seano melihat pergerakan Bumi, pemuda itu sibuk merangkai bahasa isyarat yang tak ia mengerti.

"Alat bantu dengarnya Mara ke mana?"

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang