🌧67. Hai, Amara!🌧

1.6K 169 21
                                    

Kita semua memiliki kemampuan, perbedaannya adalah bagaimana kita menggunakannya.

Kita semua memiliki kemampuan, perbedaannya adalah bagaimana kita menggunakannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

9 tahun kemudian.


Berapa tahun kiranya waktu berlalu? Apakah 9 tahun? Amara tak begitu mengingatnya. Yang jelas, selama ini dia terlalu menikmati karirnya sebagai seorang hakim. Kendati awalnya, tatapan orang-orang itu berbeda sekali sebab keterbelakangan fisik yang Amara miliki.

Di sini pun perlu begitu banyak upaya agar Amara bisa bersosialisasi. Beruntung baginya sebab selain mereka yang sulit menerima, ada lebih banyak orang baru baik hati yang Amara temui.

Sudah 10 tahun berlalu tanpa pemuda kesayangannya itu di sini. Amara menikmati kesendiriannya dengan fokus kepada karir setelah Bumi resmi tak memberi kabar lagi padanya. Entah mimpi apa yang ingin ia raih selama ini.

Wanita itu menoleh, menatap ramainya jalanan ibukota pagi ini. Pukul 9, dan sedang macet-macetnya. Amara menoleh ke arah si supir, seorang pengacara yang juga merangkap sebagai sahabatnya.

"Bener-bener enggak bisa ngebut dong kita?"

"Ya, enggak lah. Liat tuh di depan padat banget."

Pria itu mengetuk-etukkan jemarinya di dekat kaca mobil. Ada mobil dengan kaca terbuka yang berhenti di samping mereka, Seano menoleh, iseng saja. Hanya ingin tau siapa pemilik mobil berwarna hitam itu.

"Buset, tentara."

Amara ikutan menoleh, gadis itu habis dibuat penasaran. Netranya mengikuti arah pandang Seano, ada sosok pria bermasker dengan topi abdi negara yang ada di dalam mobil hitam itu.

"Ya, terus lo mau ngapain kalau dia tentara? Takut lo?"

Amara menghembuskan napas, namun rasa penasaran di dirinya masih membuncah. Sebab wanita itu merasa seperti pernah melihat sosok itu.

"Ya, enggak, Ra. Kali aja dia Bang Jaka yang pulang nugas."

"Mau lo sapa?" Amara bertanya, yang lekas dihadiahi gelengan oleh Seano.

"Enggak. Bang Jaka seragamnya beda perasaan."

Amara memiringkan kepalanya, wanita itu mengamati topi yang menutupi kepala si pria bermasker. Netranya memincing, itu bukan baju abdi negara untuk angkatan darat, sebab ayahnya tak punya yang seperti itu. Tapi bukan juga pakaian abdi negara untuk angkatan laut seperti milik Pak Sakti dulu.

"Itu angkatan udara." Amara berujar setelah sibuk mengamati.

Seano menoleh, sekilas mampu melihat. Tapi kemudian, kaca mobil itu tertutup dan si pengendara kembali melajukan mobilnya.

"No, dia ke jalan arah Victoria loh itu. Berarti dia juga ikutan reuni dong?"

"Temen seangkatan kita maksud lo?"

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang