🌧68. Dia kembali🌧

3.3K 207 45
                                    

Jika menangis adalah cara paling tepat membuatmu merasa lega, maka menangislah sekencang-kencangnya.

Saat sosok di hadapannya itu tersenyum begitu manis, di hadapan sosoknya Amara justru sibuk menahan tangis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat sosok di hadapannya itu tersenyum begitu manis, di hadapan sosoknya Amara justru sibuk menahan tangis. Bibirnya bergetar menahan isakan. Apakah ini sebuah candaan? Kapan Bumi pulang?

Wanita itu mendekat, memberanikan diri mendaratkan kedua tangannya di atas baju yang Bumi kenakan. Pundak lebar itu Amara usap, juga lencana kecil yang ada di dada pemuda 27 tahun itu.

"Yang ini gue enggak salah liat, 'kan?"

Pemuda itu menggeleng. Ia biarkan tangan lembut itu mengusap wajahnya yang telah bersih dari banyaknya bekas luka. Bumi biarkan juga Amara mengusap bagian paling favoritnya.

Mata bengkak yang terakhir kali wanita itu lihat kini telah sembuh, pun luka di kepala Bumi 10 tahun lalu.

"Ini gue, Ra. Maaf nemuinnya sangat terlambat. Sebenarnya gue udah pulang sejak lama, tapi gue pernah bilang kan ada sesuatu yang harus gue kejar? Ini yang gue kejar, Ra."

Tubuh tingginya dihantam pelukan hangat milik raga gadis yang paling ia rindukan. Bumi membalasnya dengan suka rela. Pria itu memejamkan mata, untuk pertama kalinya ia biarkan Amara terisak di pelukannya.

"Lo jahat! Katanya mau kembali saat gue wisuda. Tapi sampai gue dilantik jadi hakim, lo enggak datang nemuin gue! Ke mana?"

Amara melepas pelukan, kemudian memukuli dada bidang itu berulang kali. Setelahnya Amara terisak lagi, seraya meremat seragam yang dikenakan Bumi.

"Maafin gue. Gue terlalu sibuk ngejar mimpinya Bintang sama Ayah. Gue terlalu sibuk berusaha bersikap adil, tentang gimana caranya gue yang cuma satu orang ini bisa ngeraih cita-cita tiga orang tersayang gue."

Amara mendongak, menatap Bumi yang kini melepas topinya. Rambut pemuda itu dipangkas rapi.

"Di sela penyembuhan itu gue juga sibuk mertimbangin apa yang akan gue kejar setelah itu, Ra. Waktu kita video call terakhir kali sebenarnya gue mau bilang, tapi gue ragu. Takut juga lo kecewa karena keputusan baru gue yang ngambil sekolah akmil daripada mimpi awal gue yang pengen banget jadi pilot."

Bumi menghembuskan napas, tersenyum menatap wanita di hadapannya itu yang telah tumbuh lebih baik. Amara jauh lebih cantik dari sebelumnya, wajahnya lebih membuat Bumi tergila-gila.

Namun, alih-alih kembali memberi pelukan atau mencubit pipi perempuannya itu seperti biasa, Bumi justru tersenyum sendu. Ia usap air mata Amara yang terus turun dari dua kelopak matanya.

"Maaf ... gue gagal jadi pilot."

Amara menggeleng, netranya terpejam. Dia kembali menangis, lagi-lagi memeluk tubuh itu seerat sebelumnya.

"Enggak. Gue enggak peduli mau lo berhasil jadi pilot atau enggak, Bumi. Asal lo kembali dalam keadaan sembuh dari semuanya, itu udah lebih dari cukup bagi gue."

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang