🌧43. Sakitnya tak pernah sembuh🌧

1.6K 173 56
                                    

Assalamu'alaikum, Hai aku kembali!

Gimana, udah melakukan hal baik di empat hari terakhir ini?

Hari ini enggak lagi sedih, kan? Jangan, ya. Simpan air matanya, orang hebat enggak boleh terlalu sering nangis. Oke? Semangat buat hari ini dan seterusnya!

Oke. Jadi, siap baca babnya?

Siap dibikin nyesek dan greget lagi?

Silahkan ramein kolom komentar kalau ada sesuatu yang mengganggu perasaan kalian. Dan terakhir saatnya mengucapkan, HAPPY READING buat kalian❤

❁🌧❁

"Perkara maafin itu gampang. Tapi trauma yang gue punya enggak mungkin bisa ilang secepat yang dibayangin. Luka gue mungkin bisa sembuh, kepala gue juga pasti akan pulih lagi tengkoraknya, tapi mental gue? Lo yakin mental gue bakal baik-baik aja?"
-Laksana Bumi Amerta-

 Luka gue mungkin bisa sembuh, kepala gue juga pasti akan pulih lagi tengkoraknya, tapi mental gue? Lo yakin mental gue bakal baik-baik aja?"-Laksana Bumi Amerta-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua hari berlalu, saatnya pula memulai semuanya dari awal. Bumi harus kembali menguatkan hati untuk berdamai pada lingkungan penuh kekerasan ini. Berusaha pula menyikapinya dengan biasa ketika wajah para manusia tak punya hati itu kembali dipapaskan dengannya.

SMA Victoria. Tungkainya kembali ia bawa masuk kemari. Seraya mengenakan kupluk untuk menutupi kepalanya yang diperban, Bumi harus kembali membiasakan diri dengan segala tatapan itu.

Dari arah jalan masuk bangunan sekolah, sebuah tubuh seakan menyambutnya. Namun kala netra legam penuh kilatan perih itu menatap, si objek justru berbalik arah kemudian pergi meninggalkan Bumi begitu saja.

"Amara!" Pemuda itu berteriak, tungkainya terajut cepat bermaksud ingin menyusul Amara. Sedangkan si gadis justru sudah jauh di depan tanpa mau mengindahkan panggilannya.

"Ama-" Bumi gagal. Panggilan itu tak diteruskan. Tungkainya total berhenti, sebab tepat di hadapannya ada sosok Arlan bersama 2 kawannya yang dibawa oleh Jaraka, Sabiru, dan Mahendra untuk menghadap kepada Bumi.

Bumi mengalihkan pandangan. Bayangan siksaan itu kembali menghantui, juga memaksanya untuk kembali ingat.

"Bumi, mereka mau minta maaf sama lo."

Bumi tak melirik sama sekali. Di samping tubuhnya, kedua tangan itu teremat dengan kuat. Seolah Bumi sedang sibuk meredam sesuatu dalam dirinya yang siap bergejolak kapan saja.

"Enggak usah. Pergi aja sana!"

"Tuh!" Tubuh Arlan didorong oleh Mahendra. "Lo denger sendiri, 'kan? Si Bumi aja enggak mau maafin lo, gimana kita?"

Jaraka menghela kasar. Laki-laki itu mendorong tubuh Arlan agar berlutut. "Sujud di kakinya Bumi! Biar sekalian lo malu!"

Arlan mendongak, baginya yang telah dicap sebagai kriminal seantero Victoria, tidak ada cara lain kecuali menurut. Sebab, ratunya juga sudah tertangkap kendati belum diadili hingga saat ini.

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang