🌧34. Rapuh 🌧

1.8K 176 15
                                    

Hai, Assalamualaikum. Aku kembali!

Kabar baik hari ini?

Udah ngelakuin hal baik apa?

Seneng enggak Bumi Amara update lagi?

Ayo ancang-ancang, siapin diri kalian buat banyak konflik yang bakal muncul setelah ini. Karena, bukan cuma Jingga dan Angkasa, ada lagi orang sejenis mereka yang bakal bikin kalian ngomel-ngomel sendiri.

Oke, saatnya mengucapkan Happy Reading buat semua orang baik ini. Luv yuu ❤❤

▄🌧▄

Hal paling menyakitkan seperti apa yang membuatmu tak mau bangkit?

Apa sesakit itu luka yang mereka beri?

Di luar hujan begitu lebat, tetesan sebesar kerikil menghantam bentala bertubi-tubi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di luar hujan begitu lebat, tetesan sebesar kerikil menghantam bentala bertubi-tubi. Di dalam rumah yang tak sebegitu besar itu, Seano baru saja tiba dari rutinitas setiap akhir pekannya. Laki-laki itu melepas hoodie, menaruh kembali helm miliknya di atas lemari. Percikan air yang masuk lewat celah jendela membawa Seano melangkah menghampiri, pemuda itu menarik jendela yang terbuka kemudian menutupnya.

Namun, belum sempat tangan Seano meraihnya, laki-laki itu justru menangkap keberadaan Amara yang berdiri diam di bawah pohon besar depan rumahnya. Seano berdecak, tanpa pikir panjang laki-laki itu menyambar payung kemudian berlari keluar rumah.

"Cewek gila. Kalau kesamber gledek terus ketiban dahan kan enggak lucu anjir!"

Kakinya terajut cepat, bersamaan dengan itu angin berhembus kencang. Payung yang Seano bawa untuk melindungi tubuhnya terasa berat di genggaman.

Laki-laki itu berdecak, kesal bukan main. Sebab payung yang ia genggam bukannya melindungi tubuhnya dari guyuran hujan, justru terbalik dan membuat air hujan itu membasahi tubuhnya.

"Sialan!" umpatnya, lantas melempar payung itu ke sembarang arah.

"Ra, jangan neduh di situ! Bahaya!" Teriakan laki-laki itu mengudara begitu kencang. Di tempatnya berdiri sana Amara nampak menatapnya sayu.

Saat tungkai itu masih terajut tanpa niat berhenti, netra kemerahan Seano menangkap raut pucat itu nampak tersenyum simpul. Kemudian tawa gadis itu mengudara samar. Seano refleks menghentikan langkah tepat di tengah jalanan sepi itu.

"Kesambet apa gimana, sih?"

Tubuhnya berdiri membeku, tepat ketika netranya menangkap lelehan darah yang menghiasi wajah gadis itu. "Ra ...." gumamnya sangat pelan.

Sementara di bawah pohon itu, Amara nampak meremat sesuatu yang ia bawa.
Lantas setelahnya, tubuh gadis itu tiba-tiba tumbang menghantam aspal yang semula ia pijak.

2. Hujan dan Rintiknya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang