BAB 04

40 14 38
                                    

Kini motor sport Darel sudah memasuki kawasan halaman rumah Mawar. Darel melepaskan helmnya lalu turun dari motornya. Ia membantu Mawar turun dari motornya itu.

"Kok lo tau rumah gue?" Mawar sedari tadi ingin bicara dimana alamatnya, tetapi motor Darel menuju arah alamatnya. Jadi ia mengurungkan niatnya itu.

Tangan Darel terulur menuntun jalan Mawar sambil menjawab. "Lah lo lupa kalau kita pernah kerja kelompok di rumah lo? Waktu kelas sepuluh."

Mawar mencoba mengingat bahwa ia pernah kerja kelompok bersama Darel, waktu kelas sepuluh. Ingatan Mawar sangat pendek, jadi dia tidak bisa ingat bahwa Darel pernah kerumahnya. Lagian itu kan waktu kelas sepuluh, wajar dong kalau dia lupa. "Gue gak ingat, lagian itukan udah lama."

"Dan lo masih aja inget, padahal udah setahun," lanjutnya.

Darel hanya menanggapi dengan sebuah kekehan kecil. "Karena ingatan gue masih lancar, gak kayak lo."

Mawar memutar bola matanya dengan malas, selalu saja Darel berbicara seperti itu. "Serah lo deh."

Keduanya sudah ada di depan pintu utama rumah Mawar. Mereka menunggu kedatangan Asha yang sedang membawa motor Mawar.

Lima menit sudah berlalu. Keduanya jenuh menunggu Asha yang tak muncul-muncul. Mereka memutuskan untuk masuk, dari pada nunggu di luar bisa-bisa kaki mereka pegal.

"Mama! Aku sudah pulang," teriak Mawar.

"Lo duduk aja dulu, gue manggil nyokap bentar." Darel hanya mengangguk.

Sementara Mawar mencari keberadaan Mamanya itu di dapur, Darel menduduki dirinya di atas sofa empuk yang terletak di ruang tamu itu.

Mawar berjalan ke arah dapur dengan kaki yang pincang itu. Ia tersenyum ketika melihat sang Mama sedang bergulat dengan bahan masakan itu. Pasti Mamanya itu mau menyiapkan makan malam.

Mawar melihat jam di pergelangan tangannya itu, sudah hampir jam empat sore ternyata. Pantas saja Mamanya itu sibuk dengan urusan dapurnya. "Ma!" Panggilnya.

Wanita paruh baya dengan sebutan Mama itu menolehkan kepalanya melihat sang anak berjalan ke arahnya, dengan kaki pincang itu. "Astaga Mawar, kaki kamu kenapa?" Sang Mama lantas meninggalkan sesi masaknya itu. Kaki jenjangnya itu lantas berjalan menuju sang anak.

Dapat Mawar lihat dari raut wajah Mamanya itu sedang khawatir. "Kamu kenapa bisa begini, sayang?" Tangannya mengelus rambut panjang hitam Mawar itu.

"Kaki aku keseleo, Ma." Mawar meringis pelan saat melihat perubahan wajah Mamanya itu.

"Kenapa bisa keseleo? Pasti jatuh kan?"

"Aku tadi telat masuk sekolah, Mawar tadi bujuk Pak Dod supaya bukain gerbangnya, tapi Pak Dod gak mau. Terpaksa deh Mawar lewat belakang sekolah. Di belakang sekolah kan ada tembok tinggi, yaudah Mawar panjat dengan naik tangga sedikit rapuh itu. Mawar udah berhasil naik temboknya, tapi saat mau turun ke bawah, Mawar jatuh dan berakhir kaki aku keseleo. Belum lagi Mawar ketahuan sama guru BK. Aku disuruh ke ruang BK, untung Mawar gak di hukum cuma di beri peringatan," jelasnya.

"Apa alasan kamu sampai guru itu gak kasih hukuman ke kamu?"

"Maafin Mawar, Ma. Aku terpaksa bohong kalau aku semalam begadang bantuin Mama," ujarnya.

Mamanya menghela napas pelan. Mana ada Mawar membantu dirinya. "Bagus ya kamu bohong sama guru," tangannya mulai menjewer telinga kiri Mawar.

"Aduh! Sakit Ma," ringisnya pelan. "Aku terpaksa harus bohong sama guru, Ma." Tangannya memegang tangan sang Mama agar melepaskan dari telinganya itu.

Cinta yang Tersembunyi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang