BAB 05

25 9 10
                                    

Tepat dari arah timur matahari sudah mulai terbit dengan sangat cerah. Pukul enam pagi, Mawar sudah bersiap dengan seragam sekolahnya. Dengan tas yang sudah ia bawa di pundak kirinya. Kakinya melangkah keluar kamar, siap untuk sarapan bersama.

"Pagi, Ma," sapanya sembari mengecup pipi kedua Mamanya.

"Pagi, sayang. Tumben kamu jam segini sudah bangun?" tanya sang Mama.

Mawar menarik kursi, lalu mendudukinya. "Aku hari ini ada jadwal piket, Ma. Kemarin baru dibagikan jadwalnya," jawabnya.

Mamanya hanya manggut-manggut paham. "Kamu hari ini di antar sopir ya."

Kepala Mawar langsung menggeleng cepat, "Enggak! Aku mau bawa motor sendiri Ma," bantahnya.

Sang Mama menghela napas pelan, susah emang bilangin anak yang keras kepala. "Maw, kaki kamu itu baru di urut semalem. Masa iya langsung buat bawa motor. Kamu gak inget kata Bude tukang urut itu?"

"Sakit, Ma!" pekiknya kuat.

"Tahan sebentar ya. Ini awalnya emang sakit kok, kalau udah terbiasa gak kok," Wanita paruh baya itu tersenyum dengan tangan masih di kaki Mawar .

"Udah, Ma! Mawar gak kuat lagi, rasanya kaki Mawar mau patah," ujarnya dengan air mata keluar dari pelupuk matanya. Ucapan Mawar mampu membuat sang Mama melotot ke arahnya. "Heh, ucapan kamu di jaga ya. Mana ada kaki kamu mau patah."

Mawar membungkam mulutnya ketika sang Mama sudah menampilkan muka garangnya itu, sesekali dia meringis dan air mata mulai merembes keluar dari peluknya.

Hampir satu jam kaki Mawar di urut, kini pegangan tangan di kakinya itu kian melepas. Mawar bernapas lega, akhirnya usai sudah kakinya itu di urut .

"Inget pesan Bude ya, kamu gak boleh bawa motor dulu. Kaki kamu baru di urut, entar makin sakit kalau kamu bawa motor," pesan wanita paruh baya itu dengan sebutan Bude.

Mawar meringis pelan saat mendengar banyak larangan. Hei kakinya itu keseleo, bukan lumpuh. Tapi protes pun percuma. Mawar berjanji dia gak akan membuat kakinya itu keseleo, sudah kapok dia.

Mawar langsung meringis pelan, saat bayangan semalem muncul di otaknya. Dia tidak mau di urut, tetapi Mamanya itu memaksa. Jadilah dia harus pasrah. Rela buat jerat-jerit seperti orang gila untuk menahan rasa sakit kakinya ketika di urut.

"Mau ya?"

Baiklah Mawar akan nyerah, ia akan menuruti kemauan Mamanya itu. "Fine, Mawar ikuti kemauan Mama."

Mamanya mengembangkan senyumannya. "Nah ini baru anak Mama."

Giliran marah aja, gak mau ngaku ini anak Mama. Pas kayak gini aja baru dibilang ini anak Mama. Mawar hanya menganggapi sebuah senyuman terpaksa.

"Yasudah habisin sarapan kamu dulu," suruh Mamanya itu. Mawar mengangguk, mulai memasuki mulutnya dengan selembar roti dengan isi selai itu.

Suapan terakhir sudah ia makan, tangannya mengambil segelas susu cair itu lalu langsung ia teguk hingga tandas. "Sarapan aku sudah habis, Ma. Aku mau pergi sekolah dulu." Tangannya terulur mencium punggung tangan Mamanya, tak lupa ia memberi sebuah kecupan di pipi kedua Mamanya.

"Belajar yang pinter. Sopir sudah menunggu kamu di depan tuh." Mawar mengangguk dan memberikan senyuman manisnya.

"Hati-hati, Nak" Lagi-lagi hanya di balas oleh anggukan Mawar.

***

Mobil yang di tumpangi Mawar, kini sudah sampai di depan gerbang sekolah. Mawar turun dari mobil. Kakinya melangkah memasuki kawasan sekolahnya itu. Sesekali dia membalas sapaan dari para murid itu, tak lupa dengan senyumannya.

Mawar sudah sampai di depan kelasnya, matanya melihat sekitaran dalam kelas itu. Hanya ada beberapa orang yang datang sepagi ini. Rata-rata murid datang pagi itu hanya untuk piket sama seperti dirinya atau mungkin hanya orang rajin datang ke sekolah pagi.

Masih sepi ternyata. Maklumi ajalah orang masih pagi, pikirnya.

Mawar langsung mengambil sapu dan memulai kegiatan sapunya itu. Di bantu dengan dua orang murid cewek, yang satu membantunya dan satunya lagi menunggu para murid cowok mengambil air, untuk mengepel lantai.

Sebenarnya Mawar itu malas untuk piket kelas, apalagi ia piket satu hari dengan Zivan-ketua kelas yang nyebelin, bagi Mawar itu. Lihat saja orang sudah hampir selesai piket, Zivan baru saja datang dengan wajah yang tak berdosa itu.

"Ehh, enak aja lo. Lepas sepatu lo kalau mau masuk." Mawar menunjuk sepatu hitam milik Zivan dengan jari telunjuknya.

"Tanggung Maw, gue cuma mau taruh tas. Tolong taruh tas gue di meja aja, males gue lepas sepatu."

Sontak Mawar melebarkan matanya. "Enak aja lo. Udah datang siang, piket belom, terus datang-datang nyuruh orang pula. Enak banget hidup lo," omelnya.

Zivan hanya cengar-cengir, seperti tak punya dosa. "Hehe, maaf Maw. Gue bangun kesiangan tadi, gue juga lupa kalau hari ini piket." Tangannya menggaruk tekuknya yang tidak gatal itu.

"Pokoknya lo harus piket sekarang sambil bawa tas lo itu. Pungut sampah noh di depan," suruhnya.

"Masa gue harus bawa tas gue terus sih, pegal pundak gue Maw."

"Bodo amat, gue gak peduli."

Para murid yang sedang melaksanakan piket itu sesekali terkekeh, melihat perdebatan kecil itu. Zivan segera melaksanakan tugas piketnya itu, dengan bahu masih membawa tas. Wajahnya di pasang puppy eyes, seperti dia minta dikasihani. Padahal kan emang iya.

***

Matahari sudah mulai naik dan cahayanya semakin terik. Jam sudah hampir menunjukkan pukul tujuh pagi, seharusnya pelajaran sudah di mulai dari sekarang. Sepertinya jam pelajaran pertama akan jamkos. Jika itu benar, katakanlah para murid akan senang sekali.

"Maw, kaki lo udah baikan?" Asha menanyakan mengenai keadaan kaki sahabatnya. Mawar mengangguk sekilas, matanya sangat fokus pada benda di tangannya. "Lo bawa motor?" lagi-lagi hanya di balas anggukan sekilas oleh Mawar.

Asha geram karena ucapannya selalu di balas anggukan sekilas oleh Mawar, tanpa menoleh pula. "Lo lihat apaan sih? Fokus amat."

"Ini gue lagi lihat akun lambe turah sekolah kita. Disini tuh lagi rame. Pada bahas kalau ketua cheers kita, kak Rinda suka sama Darel, dia sekarang lagi caper sama si Darel. Gak tau sih benar atau nggak," jawabnya sambil memperlihatkan ponselnya yang terdapat postingan terbaru dari akun lambe turah.

"Kak Rinda yang terkenal dengan wajahnya yang cantik itu?" Mawar mengangguk. "Tapi kelakuannya minus. Mana hobinya bully orang mulu," cibirnya.

"Gue setuju sama ucapan lo. Percuma cantik kalau kelakuan minus. Lagian Darel gak mungkin suka sama Kak Rinda tuh," ujarnya menambah-nambahi omongan pedas Asha.

Asha mengangguk setuju. Matanya menatap ke arah seluruh penjuru kelasnya, berisik sekali. Matanya menyipit ketika Darel bersama tiga orang temannya itu mulai memasuki kelasnya itu. Dahinya berkerut, mengapa Darel ke kelasnya? Atau mungkin itu hanya firasatnya.

Asha merasa tak peduli Darel akan ke kelasnya, tak ada urusan pula sama dia dan Mawar. Tangannya mengeluarkan benda berbentuk persegi panjang itu dari saku roknya. Asha mulai membuka aplikasi instagram nya, lalu menscrol nya dengan perasaan bosan.

Cinta yang Tersembunyi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang