Jam istirahat telah tiba. Para murid berbondong-bondong pergi ke kantin. Wajah mereka tampak sumringah saat mendengar bel berbunyi. Kantin yang awalnya sepi, kini menjadi sangat ramai.
Semua orang sangat senang ketika bel berbunyi, berbeda dengan para tim basket. Saat bel berbunyi tadi, semua tim basket dipanggil ke ruangan kepala sekolah.
Setelah sampai di dalam ruangan kepala sekolah, mereka hanya diam sambil mendengarkan kepala sekolahnya memarahinya.
"Ada yang tidak hadir?"
"Semuanya sudah hadir, Pak," jawab Darel.
"Bagus!"
Kepala sekolahnya menatap mereka satu persatu. "Hari ini, Bapak mau membicarakan mengenai pertandingan kemarin. Kalian sudah tahu, apa yang mau Bapak bicarakan?"
"Belum lah, Pak. Kan, Bapak belum bicara." Salah satu dari mereka menjawab tanpa ada rasa takut.
"Kamu?! Kamu berani melawan saya?!" Kepala sekolah beralih menatap tajam pada murid tadi.
Murid tadi meneguk ludahnya kasar. Dia harus merasakan rasa takutnya sekarang. Keringatnya telah bercucuran keluar.
"Ti—tidak, Pak," jawabnya dengan suara gemetaran.
"Buang-buang waktu saja kamu!"
Kepala sekolah beralih menatap mereka satu persatu lagi, dengan tatapan yang mengerikan.
"Kenapa kalian bisa kalah tanding?! Kalian itu sudah berlatih berhari-hari, bahkan kalian melewatkan jam pelajaran kalian! Masih kurang latihannya?!" hardiknya.
"Kemarin kalian hampir saja mau menang, tapi teman kalian mengacaukan semuanya." Jarinya menunjuk ke arah Dimas, tak lupa tatapannya masih menyeramkan.
"Reputasi saya dan sekolah hancur gara-gara pertengkaran itu?!"
"Kalau mau bertengkar itu di luar area sekolah, jangan di dalam area sekolah! Apalagi saat pertandingan!" bentaknya.
Dimas sedari tadi hanya menahan emosinya. Kalau saja tidak ia tahan, mungkin dia sudah dari tadi meluapkan emosinya. Dimas menarik napasnya, lalu ia hembuskan secara perlahan. Kakinya melangkah berjalan maju menghadap sang kepala sekolah.
"Kenapa kamu menghadap saya? Tidak senang apa yang saya bicarakan? Kalau tidak senang, silakan keluar dari sini?"
Dimas diam sejenak berusaha menetralkan emosinya. Kemudian, dia tersenyum tipis pada kepala sekolah. "Saya ingin memberikan penjelasan kepada Bapak dan kalian semua."
"Sebenarnya...." Dimas menggantungkan kalimatnya.
"Ini salah saya semua," ujarnya.
Kepala sekolah memasang wajah tengah meremehkan ke arah Dimas. "Sadar juga kamu. Saya kira orang seperti kamu tidak mau sadar diri."
Dimas mendongakkan kepalanya. Dia melihat kepala sekolahnya tengah meremehkan dia. "Saya masih tahu akan sadar diri, Pak!"
"Ke mana sikap sopan santun kamu terhadap saya?! Murid tidak tahu sopan santun, tidak bisa menghargai orang yang lebih tua! Kamu tidak diajarkan sama orang tua kamu?!" bentaknya.
Emosi yang sedari tadi ia tahan, kini kembali meluap. Tangan Dimas terkepal kuat, sampai-sampai urat tangannya terlihat. Ingin rasanya Dimas menonjok wajah kepala sekolahnya.
"Sabar, Dim. Lo harus tahan emosi lo." Varen menepuk pundak kiri Dimas dari belakang.
Dimas menoleh sedikit ke belakang. Ia melihat bahwa Varen tengah tersenyum tipis padanya.
Dimas menganggukkan kepalanya. Ia segera memejamkan matanya. Perlahan dia menarik napasnya, lalu ia buang perlahan.
"Saya masih ada sopan santun, Pak. Saya masih bisa menghormati yang lebih tua, Pak. Semua itu, orang tua saya yang mengajarkan, bukan Bapak!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Tersembunyi
Novela Juvenil"Gue yang terluka, kalian yang bahagia." -Cinta yang Tersembunyi Tak mempunyai perasaan terhadap teman sendiri itu tidaklah mudah, apalagi mereka telah berteman sejak pertama kali menginjak masa putih abu. Dirinya selalu menepis pikirannya jika ia m...