Mereka berempat berpelukan hampir selama satu menit. Pelukan mereka sangat erat terutama Dimas dan Varen. Sepertinya mereka berdua saling melepas rindu. Davanka hanya bisa pasrah dengan pelukan erat ini. Dirinya ingin sekali protes, tetapi Darel selalu menahannya.
"Wih, ada acara apaan nih? Gue mau ikut juga dong." Tangan yang berkacak pinggang, wajahnya cengar-cengir, siapa lagi kalau bukan Zivan.
"Dih, siapa lo? Kagak kenal kami," ucap Dimas.
"Ceritanya udah lupain gue nih. Tega kalian sama gue." Zivan memutar balik tubuhnya.
"Eh, mau ke mana lo? Sini ikutan juga." Darel menarik lengan Zivan yang hendak pergi.
Tubuh Zivan tertarik ke belakang, jadinya dia ikut juga berpelukan. "Sayang kalian deh."
"Sayang juga sama kalian! Aku cinta kalian!" Varen memberi kecupan singkat pada pipi mereka masing-masing.
"Geli!" Davanka segera melepas pelukannya. Tangannya mengusap-usap pipinya yang terkena kecupan Varen tadi.
"Najis!" Davanka memberikan sorotan tajam pada Varen. Kakinya melangkah menjauh dari mereka.
Darel melepaskan pelukan diikuti yang lain juga. "Ren, gak usah kek gitu kali. Jatuhnya jadi geli." Darel bergidik geli membayangkan adegan Varen tadi.
"Gakpapa lah. Sekali-kali sama teman sendiri." Varen menyengir sembari mengusap pipinya.
"Jangan-jangan lo gay." Tunjuk Dimas.
"Fitnah lo. Gini-gini gue masih suka sama cewek kali," ujarnya.
Zivan mengelus dadanya sabar. "Astaghfirullah! Jika Varen itu belok, maka jauhkanlah dari kami, Ya Allah."
"Bisa istigfar juga lo, Ziv," kekeh Dimas.
"Bisa lah!" jawabnya.
"Gue kira gak bisa. Benar gak, Ren?"
Varen mengangguk. "Benar pakai banget!"
"Ets, tunggu dulu." Zivan menelisik Varen dan Dimas secara bergantian.
"Kenapa lo?" Darel akhirnya mengeluarkan suaranya. Setelah sekian lama menyimak obrolan mereka.
"Gue perhatikan, lo berdua gak jadi pendiam lagi. Udah hancur lo berdua?" Zivan menatap keduanya.
"Hancur apaan?" tanya Darel.
"Itu yang gak bergerak sama sekali," katanya.
"Apaan yang gak bergerak sama sekali? Lo ngomong jangan setengah-setengah deh." Varen berusaha mencerna perkataan Zivan.
Zivan berdecak sebal. "Ah, lo semua pada gak tahu."
Dimas memutar bola matanya. "Bukannya gak tahu, tapi lo yang bicara setengah-setengah. Wajarlah kalau kami kagak tahu perkataan lo."
"Nah, benar tuh," bela Varen.
"Gue itu mau menyebutkannya, tapi lupa namanya." Zivan menggaruk kepalanya bingung.
"Coba lo beri tahu ciri-cirinya aja dah atau gak benda yang hampir mirip," ujar Darel.
Zivan mulai berpikir sesekali membayangkan benda tersebut. "Dia itu diam aja, kagak bergerak sama sekali. Terus dia itu hampir mirip dengan payung. Iya, payung!"
"Payung?" tanya ketiganya serentak.
Zivan mengangguk. "Iya, payung."
"Coba searching di google, Dim," suruh Darel.
Dimas segera mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Jarinya mulai mengetik apa yang dikatakan oleh Zivan tadi. "Kagak ada." Dimas menatap bergantian keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Tersembunyi
Teen Fiction"Gue yang terluka, kalian yang bahagia." -Cinta yang Tersembunyi Tak mempunyai perasaan terhadap teman sendiri itu tidaklah mudah, apalagi mereka telah berteman sejak pertama kali menginjak masa putih abu. Dirinya selalu menepis pikirannya jika ia m...