BAB 08

31 8 0
                                        

Darel bersama Varen berjalan menuju parkiran, dengan langkah cepat. Setelah sampai di parkiran, terlihat Mawar, Asha, Davanka, dan Zivan tengah menunggu dirinya dan Varen.

"Lo berdua lama amat dah," ujar Zivan.

"Sabar Ziv, ada penghalang tadi pas mau kesini," jawab Darel masih dengan napas ngos-ngosan.

Zivan mengangkat sebelah alis kanannya, "Penghalang?"

Darel mengangguk. "Iya, Kak Rinda ngehalangi jalan gue."

"Halah emang tu kakel caper sama lo," ketus Asha.

"Lo kenapa dah? Pms lo?" tanya Zivan dengan wajah tengilnya

"Berangkat sekarang." Davanka sedari tadi hanya diam, kini angkat bicara dengan nada baritonnya. Davanka itu malas berbasa-basi, entah kenapa dia lebih suka to the poin.

"Noh si kutub udah angkat bicara," tunjuk Darel ke arah Davanka. "Mending pergi sekarang aja kita."

***

Seseorang mengendarai sebuah motor sport hitamnya itu sehabis pulang sekolah. Dia tidak berniat untuk pulang, dirinya ingin pergi ke suatu tempat yang membuat pikirannya menjadi tenang. Danau, tujuannya saat ini adalah ke danau. Motornya ia belokan ke sebuah tempat.

Dimas, orang itu adalah Dimas.

Saat ini dia sudah sampai di tempat tujuannya. Dimas melepaskan helm yang terpasang di kepalanya, lalu ia turun dari motornya itu. Kaki jenjangnya berjalan ke arah sebuah danau itu. Matanya menatap lurus ke arah danau yang terlihat menenangkan.

Danau ini jarang dikunjungi oleh semua orang. Entah kenapa danau ini jarang dikunjungi, padahal danau ini terlihat menenangkan.

Dimas menghembuskan napasnya dengan gusar. Ia mulai memejamkan matanya, menikmati angin semilir yang menerpa wajahnya. "Arghh," teriaknya dengan sangat kencang. Untung saja saat ini tak ada orang disini.

"Gue harus gimana? Disisi lain gue kesel sama Varen, terus disisi lain gue masih suka dengan Kanya," ujarnya dengan sesekali menjambak rambutnya frustasi.

"Gue tau, kalau sebenarnya Varen itu gak salah. Gue cuma kesel aja sama Varen yang suka gombalan cewek, termasuk Kanya."

Diam, mulutnya berhenti berbicara. Kakinya perlahan maju. Ujung sepatu hitamnya sudah terkena air danau itu. Setitik lagi kakinya yang beralas sepatu hitam itu menyentuh air danau itu, tiba-tiba seseorang menarik lengannya dari arah belakang.

"Hei, kalau mau bunuh diri itu jangan tenggelam di danau, gak elit banget bunuh diri tenggelam di danau.
Minimal kalau mau bunuh diri itu, pakai pisau terus lo sayat-sayat di sekujur tubuh lo," ujar seseorang yang ternyata lelaki seumurannya.

"Entar orang-orang juga gak mau datang kesini, karena lihat arwah lo. Danau udah sepi eh makin sepi," sambungnya.

Dimas menatap tajam kepada seseorang yang berani menganggu ketenangannya. Dia melepaskan cekalan tangan yang berada di lengannya itu. Kakinya melangkah mundur dari air danau itu.

"Apasih lo, sok asik." Dimas memasang wajah datarnya itu.

Orang itu menatap jengkel kepada Dimas. "Masih untung lo gue tolongin. Coba aja lo bunuh diri terus gak ada yang nolongin lo bisa-bisa arwah lo gentayangan."

Cinta yang Tersembunyi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang