Ternyata Susah

438 57 239
                                    

Sofia mendorong tubuh Adrian dan langsung keluar dari ruangan laki-laki itu. Di balik pintu ruangan kerja Adrian, Sofia menepuk-nepuk pelan dadanya, berharap detak jantungnya tidak secepat yang ia kira. Rasa deg-degan mulai menyelimuti relung hatinya.

"Ih! Apaan sih lo Ad!" Sofia membuka knop pintu ruangan Adrian dan langsung keluar.

Beberapa staf dan pasien yang lewat di lantai dua rumah sakit melihat wajah gadis itu mulai memerah. Terlihat sangat jelas di balik kulit wajahnya yang putih.

"Dokter Sofia sakit?" tanya Asep, salah satu karyawan cleaning service.

"Iya, sakit panas." Sofia langsung berjalan menuju ruangannya.

Sementara di ruangannya sendiri, Adrian tertawa puas mengerjai gadis itu. Sekali tidak masalah dan ia melihat sendiri bagaimana ekspresi wajah gugupnya gadis itu.

"Jadi seperti ini rasanya mengerjai Sofia?" Adrian berusaha menghentikan tawanya namun mengingat wajah Sofia justru semakin membuatnya kian tertawa.

Drrttt drrtttt

Ketika Sofia sedang merapikan meja kerjanya, ponselnya berbunyi pertanda ada panggilan masuk. Saat Sofia mengambil ponsel dan melihat nomor anonim, jelas tidak digubris oleh Sofia. Tapi, mengapa ada nomor asing yang mengetahui nomernya? Aneh rasanya dihubungi oleh nomor tak dikenal, setidaknya ia hanya ingin tahu kode telepon dari nomor tersebut.

"Nomor nggak ada, nama juga nggak ada. Paling orang iseng, tapi kok tahu ya nomor gue?" Tiba-tiba Sofia teringat akan ucapannya bersama Theo beberapa hari lalu. Inti dari pembicaraan Theo, bahwa Asher tidak bahagia dengan pernikahannya. Bukankah kemarin Asher tampak bahagia saat memberinya undangan? Mengapa sekarang malah berubah? Aneh.

Pintu ruangan kerja tiba-tiba terbuka lebar oleh seseorang. Sofia menepuk jidatnya mengetahui dua orang yang sudah tak asing dalam hidupnya, datang mengunjunginya.

"Tante jomblo!" Teriak Azka keras. Anak dari Kak Nandita masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Assalamualaikum." Suara Kakaknya menyusul setelah anaknya masuk.

Bencana besar bagi Sofia, pasalnya Nandita membawa koper.

"Waalaikumsalam, kalian ngapain ke sini?" tanya Sofia.

"Pakai tanya ngapain ke sini. Jelas-jelas gue mau titip Azka di rumah. Gue ada dinas ke Lombok bareng Ikatan Bidan Indonesia," ucap Nandita.

"Ya lo harusnya ke rumah, ngapain ke tempat kerja gue? Ada Mbok Darmi di rumah." Sofia mendecakkan pinggangnya.

"Mbok Darmi sudah sepuh, mana sanggup dia ngurusin Azka." Nandita melipatkan kedua tangannya. Kedua saudara kandung ini tidak yang saling mengalah.

"Ya anak lo nggak bisa diam. Petakilan, persis kayak–."

"Kayak lo!" Nandita menyipitkan kedua matanya meledek netra Sofia yang sipit.

"Dih! Mulai deh ledekin mata gue. Mentang-mentang nggak sipit."

"Gue malas berdebat sama lo. Gue titip Azka ya, dua jam lagi pesawat take off nih! Mama sama Papa sudah tahu. Azka harus nurut sama Tante Sofia, Mama sayang Azka. Bye sipit!" Setelah mencium pipi anaknya, Nandita langsung pergi meninggalkan Azka yang ia titipkan ke Sofia, adiknya.

Sofia bergidik ngeri melihat Azka, perempuan itu berusaha membuat harinya terus berwarna. Bersama anak kecil merupakan gempa besar baginya.


***

Azka merasa bosan karena terus berada di dalam ruang kerja Sofia. Seluruh mainan sudah dikeluarkan dari dalam tas kecil, namun tetap saja rasa bosan itu terus melanda. Apalagi, Sofia masih sibuk di depan layar laptop, mengerjakan pekerjaannya.

Hospital Diary [Terbit] ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang