Harusnya aku bisa mengendalikan kama terkutuk yang salah berlabuh pada lelaki angkuh itu. Dengan begitu, aku bakal lancar dalam pranayama¹⁹ sebagai cantrik tingkat pertama. Sayangnya hati yang baru sekali merasakan panah asmara ini begitu kuat dan tak tertahan. Mengetahui pujaannya ada di sekitar, membuatnya kian berjingkrak-jingkrak dalam dada, mengacaukan darana²⁰ yang diupayakan kepala.
Hidup di wanasrama tak mudah bagiku yang terbiasa mendapat pelayanan. Banyak nyamuk yang kurang ajar menembus selimut jarikku. Penerangan hanya remang dari oncor di depan rumah yang menembus bilik kamar dan seonggok lampu damar yang digantung di atas meja tempatku menulis rontal. Aku mencatat pengalaman-pengalamanku di lontar yang kubawa dari istana itu. Untungnya Nira tak keberatan dan tak pernah ingin tahu.
Hari pertama, aku sangat berharap melihat Sumana demi menuntaskan rinduku. Namun sebagaimana manusia yang tak pernah puas, kakiku tak dapat ditahan untuk mendekat padanya. Ia tengah memperbaiki gerobak bahan makanan ketika aku menyamperinya. Kupanggil namanya, mengukir senyum yang berkedut karena amat gugup. Ia menoleh, terkesiap dan mengangguk sopan meski aku tahu ada paksaan ia melakukan itu. Tak mau cuma bergeming, aku berkata bahwa aku hanya menyapa kerabat dan kawan di sampingnya langsung menyerobot. "Wua, Sumana berkerabat dengan seorang putri.” Kutahu namanya Hamsa setelah Sumana menyebut namanya sebagai peringatan untuk tutup mulut.
"Senang bertemu Tuan Putri, sebuah kehormatan Tuan Putri menghampiri saya," kata Sumana tanpa mengukir senyum barang sedikit pun. Meski ilmu batinku belum terasah, aku cukup peka menilai sorot matanya yang menyiratkan aku mesti lekas bertolak. Ada secercah rasa malu dalam dirinya, mungkin karena banyak cantrik yang mengalihkan perhatian pada interaksi kami. Dan aku sadar kesembronoan yang telah kuperbuat, barangkali membuatnya semakin risi padaku jika aku bukan seorang putri yang sewajarnya diberi penghormatan walau itu cuma pencitraan.
***
Tumpak Manis, 1272 Çaka.
(Sabtu Legi, 1350 Masehi.)
Memikirkan hatiku yang nestapa membuatku lebih cepat terlelap meninggalkan Nira yang tengah bicara mengenai kelahirannya yang cepat akibat cairan nira yang ibunya minum, itulah asal-usul nama Nira.
Ia menepuk-nepuk kakiku pagi buta. Rembulan masih bertengger di cakrawala, sementara kilau rawi belum merangkak ke atas mayapada. "Apa gerangan dini hari begini membangunkanku?" tanyaku dengan suara serak kemudian menutup mulut yang menguap.
"Menghindari gosip 'putri manja yang bangun kesiangan', kau perlu ikut memasak dan membersihkan diri di coban²¹.”
Sedikit terkesiap aku dibuatnya. Belum pernah aku mendapat perlakuan yang membuatku sejenak merasa tersinggung. Namun sedari awal aku sudah diwanti-wanti oleh Ibunda bahwa aku akan diperlakukan sederajat dengan cantrik lain. Jadi, tak apa lah, setidaknya dengan begini aku takkan pernah gila hormat.
Nira menggiringku menuju tempat api mengepulkan asap sangitnya di selatan bilik kami. Area terbuka itu melingkar, berupa tanah lapang yang agak jauh dari pepohonan. Sekitar lima cantrik perempuan sibuk dengan wajan, kuali, dan asap yang sepertinya membuat mata perih. Nira dengan cekatan mengambil alih kuali, menyendoknya, mencicip di atas telapak tangan kemudian menaburkan sedikit garam. Aku membatu tak tahu harus melakukan apa. Selama di istana, aku belum pernah masuk dapur.
"Itu, kau potong tipis-tipis." Nira menunjuk talenan dan sayuran yang ada di atasnya. Aku bergegas menuruti perintahnya. Kuusahakan bekerja cekatan, tetapi masih saja lamban dan kagok mengiris kubis. Meski begitu, tak ada yang mengambil alih pisau dan talenanku, mereka membiarkanku berkutat seraya membiasakan diri dengan alat dapur.
Setelah beres, kami mandi bersama di bawah coban yang mengalir deras. Dengan satu jarik yang melilit dada sampai lutut, aku menggigil akibat dinginnya air yang terasa menusuk hingga tulang rusuk. Gigiku bergemeletuk tetapi kutahan sekuat mungkin seraya menggosok bunga lempuyang di rambut sepinggangku.
Aku mentas paling awal sementara mereka berenam riang bermain air. Aku mengelap tubuh menggunakan kain kering kemudian berpakaian—seragam kadewaguruan yang dipakai hari rabu, terdiri dari baju cokelat berkancing, celana selutut dengan warna senada, serta ikat pinggang putih. Kubungkus rambut yang kuyup dengan kain yang kujadikan handuk tadi kemudian memandang langit yang tak kunjung benderang dengan cahaya fajar.
Aku menggosok gigi dengan arang bekas memasak disusul daun sirih. Keenam cantrik lain belum berniat beranjak dari dinginnya air coban. Meski tampak bersenang-senang, Nira sering sekali menaruh perhatiannya padaku sembari memamerkan gigi yang tersusun rapi.
"Teman-teman, aku kembali dulu. Kurasa aku perlu menghangatkan diri," kataku. Nira mengiakan dan menyuruhku bergegas menyalakan perapian bekas masak. Aku mengangguk dan berjalan cepat meninggalkannya.
Sampai di wilayah wanasrama dengan rambut masih terbalut kain, aku mendapati Sumana tengah menyapu halaman pura yang bersebelahan dengan bilikku dan Nira. Ia pun menaruh perhatian padaku sejenak dan entah bagaimana selanjutnya karena aku bergegas membuka pintu dan maherat di dalamnya. Aku menyelimuti tubuhku seraya menggosok-gosok telapak tangan. Kulihat uap yang keluar dari mulutku. Uh, dingin sekali.
"Nertaja, mengapa tak menghidupkan perapian? Kan, sudah kubilang," celetuk Nira yang melangkah lebar dari ambang pintu.
"Tak mau tubuhku bau sangit," balasku.
"Terserah jika kau lebih suka menggigil kedinginan seperti itu." Ia berkacak pinggang. Lama tak mendapat sahutan, ia kembali berseru, "Mari keluar, perapian sudah kunyalakan tadi dan kita mesti makan sebelum ajaran kridagama dimulai."
Aku sangat antusias dengan pelajaran olah keprajuritan itu. Aku tahu sedikit banyak dari pengajaran Paman Bango Taluwah dahulu. Mpu Dwijokangko terang-terangan menyanjungku yang baru dua hari di kadewaguruan tapi dapat menyusul gerakan di tingkat cantrik lain. Kurasa pelajaran favoritku kedua jatuh pada kridagama setelah pelajaran memaknai kidung.
Omong-omong Paman Bango, aku jadi rindu Paman Mada. Selama istirahat, aku melamuni mahapatih itu yang kini jarang sekali bertemu dan menjahiliku. Masa kecilku dan Kanda Tetep berwarna berkat kehadirannya.
_______
¹⁹ Pranayama : Latihan untuk mengatur napas.²⁰ Darana : Konsentrasi, pemusatan perhatian.
²¹ Coban : Air terjun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nertaja (Sang Rani Pajang)
Historical FictionPara pujangga enggan menulis kisah Bhre Pajang, bahkan namanya pun jarang sekali dimuat dalam kakawin maupun serat. Begitu pula dengan puspa hatinya yang memang menghindari banyak perhatian. Padahal mereka masih memiliki darah biru yang kental dari...