32. Usainya Sengketa

60 16 0
                                    

Aku memperhatikan iris kecokelatan Patih Yuwana dengan pandangan "tidak mungkin, kan?" Lantas ia menukikkan alis pada Dadari hingga perempuan itu merendahkan tatapan horornya.

Patih Yuwana menggeleng sembari berkata, "Untuk apa ingsun menghalangi pembangunan tanggul padahal itu adalah cita-cita ingsun."

"Barangkali penglihatanmu keliru, Dadari. Orang berambut cepak bukan hanya Patih seorang. Coba sisiri orang-orang yang berkumpul di sini." Aku bukan memihak Patih Yuwana, tetapi memastikan Dadari tak gegabah.

Perempuan itu menyisir pandang pada para nayaka dan pemegang baluwarti yang menanti dengan tegang.

"Mereka terlalu tua daripada pelaku yang hamba lihat kemarin dulu. Maaf, Gusti dan Tuan Patih, tetapi perawakan yang hamba lihat tampak persis dengan tubuh Patih. Hukum hamba jika hamba keliru."

Tak ada dasarku untuk membela Patih Yuwana. Tangannya memang sama seperti yang kulihat dalam bayangan spiritual. Dan sewaktu kejadian, ia tak terlihat di Keraton. Sekarang masuk akal jika ia pelakunya, karena pemegang baluwarti yang menyelidiki kawula berambut cepak tak kunjung menemukan si pelaku. Karena jagal itu punya jabatan di Keraton.

"Kakang, jangan merendahkan dirimu di depan Dewata dengan berdusta! Kakang terlalu mulia, tolong katakan yang sebenarnya," tuntutku seraya menyelami lubuk hatinya melalui manik yang tertutup bulu mata tebal tiap kali berkedip.

"Gusti tak percaya? Gusti melihat sendiri betapa gembiranya ingsun ketika Gusti merealisasikan impian ingsun."

"Tatapanmu lain, Kakang. Aku bisa meminta bantuan Kanda Hayam agar lebih cepat menemukan pelakunya, lalu aku berani bersumpah bahwa hukum Kadatwan lebih kejam ketimbang Pajang," kataku, menguji apakah ia masih menyangkal.

Kemarin aku dikhianati sahabatku, tak menutup kemungkinan patih yang dekat denganku tetapi belum lama kukenal pun balik gagang. Manusia pandai bersandiwara, mengenakan topeng yang berlawanan dengan isi hatinya. Aku takkan percaya begitu saja pada manusia yang terbilang dekat denganku. Bahkan terkadang orang dekatlah yang paling berbahaya.

Ia bersujud meminta ampun, membuat hatiku kecewa bukan kepalang. Padahal aku mengharapkan pembelaan dirinya supaya dugaanku salah. Supaya aku bisa percaya kepadanya. Ia sudah kuanggap seperti kandaku sendiri. Dan lagi-lagi aku dibuat patah arang oleh orang "dekat" yang mulut dan perilakunya manis.

"Aku menanti penjelasanmu," ucapku berusaha menutupi getaran pada suara.

"Ampun, Gusti. Ingsun termakan pancingan anggota menteri untuk membunuh Buyut Pambayun. Jika tidak menurutinya, maka dia akan beraksi sendiri membantai lebih banyak warga."

"Apakah dia juga yang menyuruh Kakang untuk mengambinghitamkan Paman Gatra?"

Patih Yuwana mengangguk. Rautnya menunjukkan ia berada di pilihan yang sulit.

"Siapa dia?" Bibirnya pucat, kebimbangan kian merundungnya. Aku kembali bersuara, "Kakang berada dalam lindunganku."

"Ki Jalu." Patih tak berani melontar tatap pada kumpulan nayaka maupun pemegang baluwarti di depan kami.

"Mengapa tak bilang sedari awal, Kakang? Kau tak percaya aku bisa melindungimu dari Ki Jalu?"

"Bukan begitu, Gusti. Ingsun hanya takut Ki Jalu akan menyakiti Gusti bila ingsun buka suara. Karena ia memiliki ilmu yang bisa membunuh tanpa menyentuh."

Para nayaka menatap seorang di antaranya dengan penghakiman. Detik itu aku tahu siapa Ki Jalu yang berhati bengkok. Romannya pucat manai, ia pun tak membela diri ketika aku menghunjamnya dengan sorot tajamku.

Belum sempat aku memutuskan hukuman, seorang penggawa muncul di sela-sela pintu yang dibiarkan terbuka.

"Ampun, Gusti Putri. Hamba membawa kabar bencana dari Loh Wana," ucapnya.

"Teruskan."

"Sungai itu meluber dan menyapu ladang-ladang warga."

"Baik, himbau warga untuk jauh-jauh dari aliran air. Jika air sampai meluber ke permukiman, mereka harus mengungsi ke tempat yang lebih aman, bukit misalnya."

Penggawa itu berlalu, memacu kudanya menuju Loh Wana di bawah terik bagaskara yang merangsek ke barat.

"Lihat yang terjadi jika kalian tak memercayaiku. Aku sudah bilang dari awal bahwa Loh Wana akan membludak jika tak segera diberi tanggul." Pandanganku menyisiri para menteri kemudian Patih Yuwana.

"Beri ganjaran kepada Ki Jalu dan Patih Yuwana di dalam penjara!" mandatku pada para pemegang baluwarti.

"Apakah Gusti tak berkehendak memberi mereka ganjaran sebagaimana tewasnya Buyut?" celetuk salah satunya.

"Aku tak sampai hati menitahkan hukuman penggal sementara aku tengah mengandung. Penjarakan mereka sementara menteri yura⁵¹ berunding menetapkan berapa lama mereka harus terkurung."

Aku tak mampu melempar pandang pada Patih Yuwana yang mau-maunya mengotori tangan dan mengubur impiannya demi seorang menteri yang bisa membunuh tanpa menyentuh. Niatnya mulia hendak melindungiku, tetapi aku tak pernah membenarkan tindakan pembunuhan. Sungguh hatiku terganjal mendapat kenyataan bahwa Patih Yuwana bakal dikurung di penjara dan tak lagi mendampingiku ke mana pun aku pergi. Meski hatiku meronta hendak membebaskan Patih Yuwana, aku mesti mengenyahkan perasaan itu agar kejadian seperti ini tak terulang. Sekaligus agar tak ada yang memandangku sebelah mata kemudian berlaku seenaknya sendiri layaknya Ki Jalu.

"Satu lagi, beri keringanan pada Patih Yuwana karena jasanya terhadap Pajang. Dan juga karena ia hanya wayang yang dikuasai Ki Jalu selaku dalangnya," pungkasku sebelum pertemuan bubar. Samar-sama telingaku menangkap suara lirih Patih Yuwana yang berterima kasih, membuat benakku kian tersayat.
_______

⁵¹ Hukum.

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang