17. Pemuda Berompi Biru

75 16 1
                                    

1355 Masehi.

Aku keluar dari Gua Sono, retas dari ujian tak tertulis berupa semadi selama enam purnama, mendapat sambutan kereta yang ditarik sepasang kuda putih yang membawa keluarga dekat untuk menjemputku. Aku mengukir senyum untuk dua prajurit penjaga yang menjagaku selama bersemadi. Butuh satu hari perjalanan dari Giri Gisik menuju Trowulan menunggang kereta kuda yang lajunya tak secepat kuda tunggangan. Ni Wuri melayaniku dengan menyuapkan makanan dan minuman dengan hati-hati agar tak tumpah karena medan yang jauh dari kata mulus. Gema air yang menetes dari stalaktit gua tak lagi kudengar, berganti cicit paksi bersahutan dari dahan-dahan pohon tempat mereka bertengger. Aku menyibak tirai yang menutup jendela, memanjakan mata dengan panorama mayapada, sekaligus membebaskan angin menerpa iras.

Tak banyak yang bertanya padaku, mereka mengerti aku masih membutuhkan ketenangan untuk memulihkan energi. Hanya Mpu Prapanca yang memastikan aku mendapat pencerahan selama melakukan pemusatan pikiran.

"Para leluhur yang tak dapat kusebut satu persatu memberiku wejangan untuk memerintah suatu wilayah. Dan Eyangnda Gayatri memberiku ini." Aku memperlihatkan bunga kenanga yang masih segar seperti baru dipetik, padahal sudah lama aku mendapat bayangan Eyangnda menaruh bunga beraroma khas itu setelah memberiku pesan-pesan untuk menjadi bhre yang baik.

Mpu Prapanca mengulas senyum hingga guratan di bawah netranya terbentuk. Usianya telah lanjut, agemannya seperti seorang pendeta, dan auranya selalu menimbulkan rasa segan karena ia terlalu berwibawa sekaligus menenangkan.

***

Permadani hitam telah digelar di awang-awang ketika aku dan embanku bersantai di pendopo keputren dengan secawan wedang secang di tangan. Semilir angin malam menubruk selendang kami yang menyelimuti bahu, membuat ujung kain satin itu menari-nari tersapu aliran udara. Kakiku berayun-ayun di tepi pendopo, begitu pun Ni Wuri yang tak bosannya memandang mega mendung.

Aku mengamati sosok emban yang menemaniku sejak aku berusia tujuh tahun itu, ketika ia masih remaja dan lupa akan usianya sendiri. Sekarang ia telah menjadi perempuan dewasa yang tak lagi malu-malu ketika berpapasan dengan prajurit sebayanya. Kemban kuningnya seakan berkilat memantulkan cahaya lampu damar yang diikat di tiang pendopo. Malam senyap seperti ini membuat pikiranku jauh lebih tenang, memikirkan latar belakang Ni Wuri yang belum kutahu.

"Selama aku mengenalmu, Ni, aku tak tahu hal-hal kecil dari dirimu. Dari mana kau berasal dan apa yang membuatmu memilih jalan hidup sebagai emban?" celetukku setelah dirundung kebisuan canggung karena lama tak bertemu satu sama lain.

Arah pandangnya masih terpaku pada bumantara, tetapi aku tahu pikirannya tengah melanglang buana. "Saya lahir di Blambangan, Gusti. Sejak kecil sudah terbiasa ikut Bapa berdagang ke luar daerah. Hingga suatu hari, Bapa menikahi salah seorang perawan di Trowulan. Hati saya hancur lebur mengingat Biyung yang menanti Bapa di rumah. Saya bersikeras agar Bapa mau mengantar pulang dan ia bersedia jujur pada Biyung, tapi permohonan saya ditolak mentah-mentah. Kemudian saya melarikan diri dari tempat persinggahan Bapa karena tiap malam mendengar desahan menjijikkan dari istri barunya. Saya mengambil celengan milik Bapa, membawanya sebagai biaya angkutan untuk sampai di Trowulan lalu mendaftarkan diri menjadi emban. Awalnya saya mendapat posisi sebagai dayang yang membantu juru masak di dapur, tetapi Gusti Tribhuwana tiba-tiba memanggil saya untuk menjadi emban Gusti Putri."

Aku bergumam sebelum memberi tanggapan, "Kebanyakan dayang memiliki kisah yang mirip dengan kisahmu. Keluarga yang terpecah membuat mereka putus asa dan merasa bahwa lingkungan istana jauh lebih menyibukkan sehingga lupa akan masalah mereka."

"Leres, Gusti. Saya merasa jauh lebih baik di istana. Terutama setelah mengenal Gusti Nertaja yang tak pernah memandang saya rendah."

"Ah, Ni Wuri terlalu berlebihan memujiku." Kemudian aku mengutarakan perihal yang membuatku begitu penasaran.

Baru terhitung pekan aku tiba di Kadatwan, desas-desus baru merambat ke telingaku melalui dayang-dayang yang entah bagaimana bisa terdengar sampai bilik peraduanku. Kabar itu dibenarkan oleh Ni Wuri yang menggali informasi lebih dalam melalui prajurit pembawa berita yang ditanya langsung olehnya.

Aku tergelak melihat rona Ni Wuri yang merah padam sehabis berinteraksi dengan prajurit itu. Katanya, "Tentu dia curiga kepada saya yang sekonyong-konyong bertanya perihal itu. Dia menjawab ketus 'Apa urusannya denganmu?!' Lalu saya meminjam nama Gusti Nertaja untuk melicinkan langkah."

"Prajurit itu tampan atau tidak?" Aku sengaja membuat wajahnya kian memerah.

"Masuk dalam daftar suami idaman."

Aku ingin terbahak-bahak, tetapi ingat adab. Maka aku hanya terkikik seraya menutup mulut dengan telapak tangan.

"Sebegitu menakutkannya Paman Mada hingga Sakasanusa³⁷ menyatakan tunduk tanpa diminta." Aku kembali pada topik yang mulai memuaskan rasa penasaranku, desas-desus bahwa besok utusan dari Sakasanusa akan tiba membawa upeti yang menyatakan tunduknya wilayah mereka kepada Majapahit.

***

Lompatan kecil langkahku menempuh bebatuan halus yang diapit pohon asoka dan tetehan yang berembun sisa hujan tengah malam. Jalan menuju Kepatihan ini menjadi bagian istana yang menjadi kesukaanku.

"Paman...." Aku tak sanggup menahan kakiku untuk berlari melintasi rumput teki yang memenuhi lapangan, mengangkat bawahan jarik hingga atas betis supaya tak menyusahkan langkah.

Aku hendak menghambur memeluk Paman Mada, tetapi ingat tata krama sehingga aku hanya berdiri di depannya seraya menyunggingkan senyum lebar.

"Gusti Nertaja ... sekian lama tidak berjumpa, Gusti makin menawan saja."

Aku mengangguk sebagai balasan, tak dapat menampik seperti biasanya. Mulutku terkunci rapat, mataku tak henti-hentinya mengamati sosok berkalung Surya Majapahit yang kurindukan.

Mahapatih Mangkubumi itu menuntunku menuju ruangannya yang minimalis, hanya diisi dipan dan tungku. Aku mendudukkan diri di atas dipan yang beralas tikar pandan, sementara Paman Mada membuatkanku wedang jahe di dalam gelas bambu.

Aku tak banyak bicara, terlampau senang dapat berjumpa kembali dengan Paman Mada. Sebaliknya, pria tinggi besar dengan rambut digelung itu menceritakan pengalamannya dalam menaklukkan wilayah-wilayah yang kini menjadi bagian dari Majapahit.

Pendar sang rawi menerobos jendela kayu yang sengaja dibuka, membiarkan bangunan bata merah ini dimasuki kesegaran alam yang dibawa Bathara Bayu. Dentingan senjata mulai terdengar, pertanda para prajurit siap berlatih. Aku tak mau membuat mereka menunggu kehadiran Paman Mada. Maka, aku minta diri untuk meninggalkan Kepatihan yang dibalas oleh paman Mada, "Jangan sungkan untuk kemari setiap hari."

Aku mengangguk kecil pada Paman Bango Taluwah yang mendapatiku keluar bilik Paman Mada. Para prajurit muda yang dulu digembleng oleh bawahan Paman Mada itu telah resmi menjadi anggota pasukan Bhayangkara, mengenakan ageman khusus yang menonjolkan warna merah putih sebagaimana pataka³⁸ Majapahit.

Aku kembali menyusuri jalan batu yang membuat telapak kakiku kedinginan. Jalan ini membawaku menuju pendopo halaman depan istana yang dekat dengan balairung yang besarnya berlibat-lipat ketimbang pendopo itu sendiri.

Pohon-pohon asoka dan tetehan yang belum dipangkas sedikit menghalangi pandangan. Ketika setengah jalan, barulah aku mendapati tiga pemuda yang dari tampilannya menunjukkan mereka bukan orang Majapahit.

Saking tenangnya hawa pagi Majapahit, mereka berpaling ke arahku karena mendengar langkahku yang begitu kentara. Salah satu di antara ketiga pemuda itu tampak lebih mencolok. Rompinya biru keemasan, kelat bahu melingkar di lengan atas yang berotot, celananya berupa kain hitam yang dililit kurang lebih sama seperti celana yang dipakai di Majapahit. Rambutnya cepak, sama sekali bukan ciri khas orang Majapahit yang umum dibiarkan lebat hingga menutupi tengkuk atau digelung. Sementara dua pemuda di belakangnya bertelanjang dada, bercelana lebih sederhana.

Pandanganku terpaku sesaat pada pemuda berompi biru itu. Aku menunduk, tetapi kembali menengok padanya yang ternyata masih mematung dengan sorot yang mengarah padaku.

Aku lekas melanjutkan langkah, berbelok ke kiri menuju keputren, mencari Ni Wuri untuk menceritakan tiga pemuda berambut cepak yang kurasa datang dari Sakasanusa.

_______
³⁷ Sakasanusa : Sulawesi.

³⁸ Pataka : Bendera.

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang