8. Pembeberan

77 23 0
                                    

Lelah menangis, tak sadar kami berdua terlelap dan Kanda membangunkanku tatkala sang rawi terang benderang, hujan pun rupanya telah reda.

"Upacara terakhir Eyangnda bakal dimulai."

Kemudian kami tergopoh-gopoh menuju pendopo agung tanpa cuci muka terlebih dahulu.

Mataku lagi-lagi berair mendapati Eyangnda yang telah memakai kain sutra bersulam emas ditandu beberapa orang menuju kobaran api. Aku hanya menatap dari kejauhan sedangkan Kanda berlari mendekat.

"Gusti di sini rupanya. Saya turut berduka, Gusti perlu ikhlas terhadap kehendak Sang Hyang Widhi." Langsung saja aku membalikkan badan dan berhambur di pelukan Ni Wuri. Kami berlutut karena aku lemas dan Ni Wuri tak kuat menopang bobotku. Tangisku pecah seiring kesadaranku di ambang batas.

***

Tak ada yang tak sayang pada Eyangnda Rajapatni, meski aku dan Kanda jarang menghabiskan waktu bersamanya. Wejangan berbobotnya berpengaruh besar bagi pemerintahan yang diemban Ibunda, dan kadang kala jika sedang tak bersemadi, sang Rajapatni pun memberi pencerahan pada Kanda. Ia tak galak macam Ibunda, tak jahil macam Paman Mada, pun tak songong macam Sumana.

Ah, perihal yang terakhir itu kurasa menjadi sebab lain diriku pingsan. Kemangkatan Eyangnda mengartikan Kanda sebentar lagi memangku takhta menggantikan Ibunda yang sebetulnya mewakili Eyangnda sebagai Maharani. Itu berarti pula tak lama lagi aku pun diberi wilayah untuk kupimpin. Aku belum siap sementara hatiku masih menjadi budak cinta Sumana yang barangkali tak memiliki rasa yang sama.

Kupandangi langit-langit tanpa bersuara sepatah kata, sebab sedang tak ingin ada orang yang menyamperiku. Aku perlu waktu sendiri untuk memuaskan rasa galauku tercurah lewat mata yang kering nan sembap.

Aku keluar dengan suara langkah sesamar mungkin supaya Ni Wuri tak tahu aku telah siuman. Kaki bertapih kain hitam ini melangkah menuju kepatihan, berharap Paman Mada ada di sana karena kulihat ia mengikuti upacara tadi.

Perhatianku tak sepenuhnya terarah pada jalanan berbatu yang diapit pohon asoka kuning. Netraku jelalatan pada bangku berukir sulur yang biasa diduduki Paman Mada dan rekannya yang jahil, kemudian menyisir lapangan mencari-cari sosoknya. Aku tak menjumpainya sementara kakiku membuatku benar-benar tiba di pinggir lapangan.

"Gerangan apa siang bolong begini Gusti bertandang?" Paman Maesa Jembawan menghampiriku sembari menenteng busur dan anak panah. "Kakang Mada sedang makan siang di dalam." Pria berkumis lebat itu menunjuk bilik di belakang bangku menggunakan dagunya.

"Terima kasih, Paman. Kurasa kau mau menemaniku berbincang selagi Paman Mada selesai makan siang." Mengetahuinya tak keberatan, kami duduk di bangku panjang. Lagi pula siang itu memang masih waktunya istirahat. "Kenapa Paman Mada kembali ke istana tepat bersamaan mangkatnya Eyangnda?"

"Sebenarnya dia kembali sepekan yang lalu, karena telah selesai menaklukkan Tanjungpura²²." Tepat setelah Paman Maesa Jembawan menyelesaikan kalimatnya, Paman Mada muncul di ambang pintu dengan segelas bambu minuman dipegangnya. Lantas, Paman Maesa Jembawan undur diri dan memberi kami ruang. Padahal aku tak masalah jika kami mengobrol bertiga sebagaimana sewaktu aku kecil, banyak prajurit yang duduk di sekelilingku yang waktu itu senang sekali mendapat perhatian meski mereka cenderung menyebalkan.

"Selamat atas keberhasilanmu, Paman."

"Tak ada lagi perayaan kemenangan dengan selimut duka yang menyelubungi kita, bukan?"

Aku tersenyum simpul, sebelum menyengir. "Larut dalam kesedihan itu tidak baik."

Paman Mada ikut menyunggingkan senyum dan menimbulkan kerutan dalam di sekitar matanya. "Nah, Gusti yang periang memang bisa diandalkan dalam menghibur."

Kami terkekeh beberapa saat, sebelum kembali hening. Tak mampu menutupi duka yang belum sirna dari benak.

"Omong-omong, aku hendak memastikan sesuatu. Semalam aku memimpikan Eyangnda menyembuhkan perutku yang diterpa sihir hitam. Itu sangat terasa nyata, bahkan aku ingat ketika Eyangnda mengantarku dan Nira pulang sebelum kami berdua bangun dan rupanya ia bermimpi kurang lebih sama. Apakah aku sedang meraga sukma dan diberi salam perpisahan dari Eyangnda?" Aku menatap raut serius Paman Mada yang sekilas tampak garang. Aku yakin ia telah mendengar bahwa aku menjadi sisya di padepokan Mpu Dwijokangko.

"Kurasa benar, karena mimpi setiap insan pasti beda-beda, tak ada yang sama persis. Sementara itu, Paduka Rajapatni mangkat tepat setelah kau bangun. Dan perihal kau kena sihir hitam, tak boleh kau anggap sepele, Gusti." Tatapannya yang dalam membuatku menggigil, padahal siang ini matahari sedang di ujung tombak.

"Aku harus bagaimana? Ilmuku belum cukup untuk memberi tedeng aling-aling segala kejahatan."

"Sekembalinya ke padepokan, Gusti perlu mewartakan mimpi itu pada sang acarya. Dia lebih tahu apa yang harusnya kau perbuat."

"Apakah Paman hendak pergi jauh lagi?"

"Tidak—belum setelah Gusti Hayam Wuruk resmi dinobatkan sebagai pemangku takhta."

***

Bocoran dari Paman Mada membuatku tambah terbebani oleh pemikiran tentang masa depan. Setelah Kanda mendapat nama abhiseka nanti, kecil kemungkinan kami dapat menghabiskan waktu bersama lagi barang seminggu sekali. Ia pasti bakal disibukkan oleh pertemuan-pertemuan dengan para pejabat. Masa kecil kami yang bahagia mulai pupus seiring usia kami yang mulai menjejaki kedewasaan. Rasanya tak rela, mengingat berbagai memori baik-buruk yang terkenang di dalam benak.

Suasana hatiku anjlok lagi, merasa amat kehilangan Kanda yang digembleng sejak dini itu. Aku menyayanginya, ingin ia bermain seharian bersamaku dan kadang kala Indudewi ikut serta. Omong-omong Indudewi, aku tak melihatnya sepanjang hari. Mungkin akibat aku yang lebih banyak mengurung diri di kamar, dan ada setitik harapan ia bertandang kemari untuk menemaniku. Namun kurasa ia tak begitu acuh pada perempuan yang dahulu pernah membuatnya terjun ke jurang dan hampir membuat lengannya patah. Pantas saja dulu ia kerap menatapku takut-takut. Aku baru sadar betapa nakalnya diriku semasa kanak-kanak.

Akibat segala persiapan jauh hari menjelang penobatan kanda itulah aku belum diperkenankan kembali ke padepokan. Utusan istana telah mengirim surat pada Mpu Dwijokangko dan kurasa acarya itu pun paham akan apa yang tengah kuhadapi.

Ketukan pintu membuyarkan tatapan kosongku pada langit-langit sementara pikiranku berkeliaran. Ni Wuri menyembul seraya membawa baki berisi makan malamku. Ah, ya. Sudah malam dan aku tak menyadarinya sampai melewatkan mandi. Pipiku membara menyadari itu. Tak terbayang jika diriku punya kebiasaan jarang mandi dan Sumana semakin menghindar. Hahaha takkan kubiarkan itu. Lagi pula cuma kali ini aku lupa mandi.

"Kenapa Gusti tertawa?" Ni Wuri berhenti setengah jalan dan tampak takut menghadap padaku. Aku berdeham lalu menggeleng. "Cuma lupa mandi, Ni," jawabku.

"Tak apa, tak apa. Melewatkan waktu mandi sekali saja tak membuat kulit Gusti kehilangan kemilaunya. Beda lagi dengan saya yang tambah buluk."

"Jangan-jangan Ni mandi seminggu dua kali."

"Dahulu. Boro-boro dua kali, Gusti. Sebulan sekali saja pernah waktu saya masih berusia sekitar lima tahun dan sering masuk angin."

"Hi ... jorok. Tapi aku maklum, karena air di desa sangat dingin."

"Saya selalu suka dengan Gusti yang pandai berempati."

"Jangan memujiku! Aku tahu kau menginginkan sesuatu di balik itu." Aku berubah ketus.

Sayangnya Ni Wuri menganggap serius dan bersimpuh di depan kakiku. Aku jadi kikuk dan menenangkannya. Aku kan hanya bercanda.

_______

²² Tanjungpura : Kerajaan tertua di Kalimantan Barat, berdiri sejak abad ke-8.

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang