Gemuruh menggema seiring hujan yang semakin deras. Pohon nyiur meliuk diterpa angin. Aku celangak-celinguk mencari tempat berteduh sepulang dari puncak Pawitra, tetapi nihil. Kuterjang badai yang mengamuk, yang mungkin berniat menerbangkanku bagai sehelai kapas. Sekonyong-konyong Nira menyeletuk di sebelahku, padahal kukira tadi aku hanya sendirian. Ia menggandeng tanganku supaya tak limbung terbawa angin, kemudian kudapati ia mencengkeram perut dan gelagatnya seperti kesurupan dengan cengengesan yang pertama kali ia tampakkan di depanku.
Ia menyerudukku, gumpalan hitam menguap dan beralih ke perutku yang melilit minta ampun. Kucengkeram kuat seraya merintih, tetapi masih bisa menahan diri untuk tak memberi izin gumpalan hitam itu mengambil alih tubuhku sepenuhnya. Aku terus merintih minta tolong, tetapi Nira angkat tangan dengan wajah pucat selepas kerasukan. Ia melangkah mundur menjauh dariku.
Kemudian sebuah tangan berhiaskan gelang tipis yang keriputnya tak dapat menipu usia uzur mencekal pergelangan tanganku. Aroma kenanga menghampiri penciumanku dalam beberapa menit hingga hidungku terbiasa. Kudapati Eyangnda Gayatri yang mulutnya berkomat-kamit seraya tangannya menyentuh perutku. Gumpalan asap sehitam arang keluar, terbang meliuk-liuk di atasku yang berangsur-angsur merasa lemas. Eyangnda mengangguk kecil dibarengi senyum simpul, satu tangannya bertengger di depan dada bagai menghormati gumpalan hitam itu sebelum terbang menghilang ke dalam hutan.
Meski derasnya hujan kian menjadi-jadi, aku melihat dengan jelas Eyangnda Gayatri tak basah sama sekali. Kain oranye yang menutup gelung rambut putihnya sedikit berkibar, kain motif wajik membalut dari dada hingga mata kaki. Sama sekali kering. Mulutku terkatup bingung hendak mengucapkan apa.
Sebelah tangannya menuntunku, sebelahnya lagi menggenggam Nira yang sama lemasnya denganku. Ia membawa kami menyusuri jalanan batu berlumut melewati air terjun kemudian tiba di kamar wanasrama. Eyangnda yang telah menjadi biksuni itu mengecup keningku sebelum membalikkan tubuhnya.
Kilatan disusul gelegar petir membuatku terlonjak dan satu kedipan mata aku sudah berada di atas ranjang. Rupanya di luar pun sedang hujan disertai gemuruh petir. Mataku terbuka sepenuhnya, langsung terpikir bahwa aku baru saja meraga sukma. Namun, apa maksud mimpi itu? Apa yang hendak ditunjukkan Eyangnda Gayatri?
Ah, paling hanya bunga tidur. Namun, aku sadar bahwa aroma kenanga masih terpatri di hidungku. Mendadak aku merindukan sosok wanita tangguh yang telah menjadi saksi keruntuhan Singasari itu. Lama aku tak menjumpainya karena ia lebih sering menyepi di gua, dan aku sendiri berada di Pawitra.
"Aneh sekali. Tak ada tanaman kenanga di hutan ini, tetapi baunya tercium sedari tadi." Nira terjaga di ranjang seberangku. "Katanya menceritakan mimpi bukan hal yang elok, tapi mulutku gatal ingin mengungkapkan—"
"Apa mimpimu itu berjumpa dengan Eyangnda Gayatri?" Aku memotong ucapannya.
"Kurasa iya, meski aku belum pernah melihat beliau. Bagaimana kau tahu?"
"Aku mengalami hal yang sama. Percayakah kau bahwa itu bukan sekadar mimpi?"
"Yah, aku tak pernah memikirkan bunga tidur. Banyak mimpi yang tiap malamnya kudapat." Ia menguap. "Lebih baik melanjutkan tidur. Ini masih tengah malam."
Kilat dan petir masih susul-menyusul. Lampu damar padam tertiup angin. Aku tak berniat melanjutkan tidur, masih kepikiran maksud Eyangnda hadir di mimpiku, dan tentu saja terkesiap bahwa aku meraga sukma meski tak dapat memastikannya.
Mataku masih menatap langit-langit ijuk yang didasari rangkaian kayu bernama usuk. Kepalaku begitu jelas mengingat Eyangnda serta rasa sakit yang melilit perutku. Kesadaranku nyaris pupus ketika telingaku menangkap derap ladam kuda yang berhenti di depan pura utama. Kudengar pula beberapa pintu yang terbuka. Aku menyusul suara derit pintu kayu itu, dan mendapati lima utusan berkuda dari istana yang kuhafal betul ciri khasnya—destar cokelat di kepala dan wdihan Surya Majapahit mengelilingi celana mereka sedemikian rupa. Aku bergeming di ambang pintu seraya melongok pada utusan yang hujan-hujanan seraya bercakap dengan Mpu Dwijokangko.
Mereka menengok padaku sebelum melangkahkan kaki lebar-lebar kemari. Raut mereka tampak pias, jantungku bertalu-talu tak siap jikalau mereka membawa kabar buruk.
"Anakmas Nertaja, ada kabar penting yang dibawa mereka," kata Mpu Dwijokangko setibanya di hadapanku. Kain putih melekat di tubuhnya akibat guyuran hujan.
Tanpa memberiku kesempatan bertanya, salah satu penggawa buka suara, "Gusti Putri diminta kembali ke istana."
"Apa yang terjadi?" tanyaku cepat. Nira muncul di sisiku dengan nyawa setengah terkumpul seraya mengerjap-ngerjap.
"Gusti akan tahu setelah tiba."
"Aku takkan berkemas jika kalian tak memberitahuku." Aku menyempatkan diri untuk bersedekap dada dan memperlihatkan tampang garangku meski jantungku tak dapat tenang dan skenario buruk berseliweran.
"Paduka Rajapatni Gayatri telah berpulang ke jinalaya."
Benar. Itu yang hendak Eyangnda sampaikan semalam. Salam perpisahan yang begitu singkat lewat alam lain. Aku tak mampu berkedip, kalau saja Nira tak mengguncang tubuhku. Tanpa mau berlama-lama membiarkan air mata mengalir, aku masuk kamar disusul Nira yang membantu mengemasi barangku seperlunya. Kami berpelukan sebelum aku dan Mpu Dwijokangko naik ke kuda dua utusan lalu menerobos derasnya hujan. Sialnya, di sela-sela kegentingan itu netra basahku masih sempat berserobok dengan netra Sumana yang juga basah oleh guyuran hujan di depan pura utama.
Ada perihal yang lebih menyakitkan daripada cinta yang belum kunjung menemui titik terang, yakni mengetahui seseorang yang begitu kau sayangi dan rindukan meninggalkanmu dan duniamu. Batinku meronta-ronta hendak meledak, tak siap menerima kenyataan bahwa Eyangnda berpulang. Tak terasa dingin lagi air yang mengguyur sementara laju kuda tak terkira cepatnya di atas setapak licin. Hingga membuat tubuhku hampir merosot kalau saja penggawa yang mengendarai kuda ini terlambat melingkarkan lengannya di perutku yang beberapa menit lalu mendapat sentuhan kesembuhan dari Eyangnda di alam lain.
"Maaf, Gusti." Si penggawa mengeratkan lingkarannya terhadapku yang mengangguk pasrah.
Selepas melewati Gapura Wringin Lawang dan mencapai pendopo agung, aku menghambur di seberang Kanda Tetep pada jasad Eyangnda yang terbujur dengan paras yang menyiratkan kedamaian.
"Tenangkan diri kalian, Anakmas. Eyangnda harus segera dimandikan,” ujar Ibunda.
Aku berlari sempoyongan menuju kamar, tak kuat menyaksikan upacara kematian Eyangnda yang telah dihadiri pemuka-pemuka agama termasuk Mpu Dwijokangko.
Kanda membuka pintu tanpa permisi, langsung merengkuh tubuhku dan kami menangis bersama. Air matanya menetes-netes di bahuku yang belum kering. Ia tak kuatir pakaiannya ikutan basah karena menempel pada pakaianku.
"Bolehkan aku berdiam di kamar Dinda sampai upacara selesai?" tanyanya menahan isakan. Aku mengangguk. "Kau harus berganti pakaian dulu." Kali ini aku menggeleng.
Kanda melepas rengkuhannya kemudian berkata lagi, "Jangan diam terus, Dinda. Nertaja yang kukenal tidak seperti ini. Baru berapa hari hidup di wanasrama masa’ langsung berubah drastis." Ia berhasil membuatku menyunggingkan senyum. Aku tahu ia juga berniat menghibur dirinya sendiri dari pilunya kehilangan Eyangnda Rajapatni yang menjadi tameng perlindungan tiap kali Ibunda memarahi kami.
Ia keluar sementara aku berganti pakaian, lalu kembali duduk di pinggir kasurku setelah aku berseru selesai.
![](https://img.wattpad.com/cover/345142436-288-k305095.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nertaja (Sang Rani Pajang)
Ficção HistóricaPara pujangga enggan menulis kisah Bhre Pajang, bahkan namanya pun jarang sekali dimuat dalam kakawin maupun serat. Begitu pula dengan puspa hatinya yang memang menghindari banyak perhatian. Padahal mereka masih memiliki darah biru yang kental dari...