33. Sata Linuwih

71 18 0
                                    

Segalanya membaik. Aku dapat melangsungkan ketatanegaraan tanpa kehadiran Patih Yuwana, meski tak luput dari peran para pejabat yang lebih menghormatiku selepas tindakanku yang mereka anggap bijaksana dengan mengungkap biang kerok sengketa sekaligus memberi hukuman tanpa pandang jabatan.

Pembangunan tanggul baru terlaksana setelah air yang meluber di ladang benar-benar meresap. Payung-payung besar menaungi bata merah yang dilekatkan di tepi sungai guna melindungi bangunan dari musim hujan yang membuat petani berlega hati karena sawah mereka terisi air. Lain halnya dengan pemilik ladang yang tanamannya kerap ambruk tertiup angin atau tertimpa derasnya hujan. Sementara tanggul baru satu langkah, pembangunan bendungan di Pajang bagian selatan sudah rampung berkat instruksi nayaka yang tak pernah absen mengawasi pekerja, barangkali ada yang bermalas-malasan.

Pembangunan dua sarana itu benar-benar rampung ketika perutku kian membesar dan jabang bayi di dalamnya menendang-nendang. Ada kalanya aku bercermin, menelisik parasku yang tak sebugar sebelum mengandung. Kantung mataku menghitam, hidungku tampak bengkak, bibirku pucat. Padahal aku selalu tidur cukup serta menjaga pola makan. Dan satu lagi, timbul bintil-bintil seperti jerawat di punggungku dan gatal tiap habis mandi. Makanya aku hanya mandi dua hari sekali, lagi pula udara Pajang yang sejuk tak membuatku berkeringat sampai bau badan.

"Apakah semua wanita mengalami ini ketika mengandung?" tanyaku pada Ni Wuri yang menyisir rambut bergelombangku yang tergerai sampai pinggang.

Ia membalas tatapanku di pantulan cermin, menyadari maksudku hanya dengan mengamati romanku. "Saya yakin jabang bayi Gusti adalah laki-laki," katanya.

Aku tahu, aku pernah mendengar tutur orang tua zaman dulu. Jika anak yang dikandung laki-laki, maka ibunya terlihat jelek, sebaliknya jika perempuan, maka ibunya tampak lebih cantik.

"Aku takut Sumana berpaling dariku."

"Saya yakin Gusti Sumana cukup bijaksana untuk tidak melakukan hal itu. Gusti Putri terlalu berhati mulia untuk disia-siakan."

Pembicaraan kami terhenti karena jarikku basah kemudian perutku sakit bukan kepalang. Mati-matian aku beranjak kemudian dituntun ke ranjang oleh Ni Wuri dengan kepanikannya. "Ini sudah mencapai bulan kesembilan, Ni. Sudah saatnya, tolong tangani ini," pintaku dengan raut kesakitan yang begitu kentara. Ia memanggil beberapa dayang yang membawa kain-kain dan air hangat, tak lupa tanaman yang dipercaya melancarkan persalinan yang harus kumakan. Aku tak mau menceritakan selanjutnya, karena tak ingin mengingat kembali sakitnya sebelum tangisan bayi laki-laki menggema diiringi helaan napas penuh kelegaan perempuan-perempuan muda yang baru pertama menangani hal ini. Yah, beginilah akibat memiliki dayang yang seluruhnya masih perawan.

Dua utusan kukirim ke Paguhan untuk mengabarkan pada Sumana bahwa putranya telah lahir. Tak henti-hentinya aku menatap bayi berbalut bedung yang tak terusik oleh dayang yang membereskan kamar.

Sumana baru tiba dua malam kemudian. Wajahnya mengguratkan kelelahan, tetapi ia langsung menaruh atensi pada putranya di peraduanku.

"Jangan diciumi terus, aku baru saja menidurkannya," peringatku karena tak mau bayi itu menangis dan membuatku tambah pening.

"Nimas tahu? Sepanjang perjalanan, aku memikirkan nama untuknya." Ia tampak bersemangat hingga menggoyangkan lenganku.

"Tak terbayang eloknya nama itu ketika dipikirkan tiga hari, dua malam lamanya."

"Aku hendak memberinya nama Dyah Gagak Sali."

Dahiku mengerut. “Kenapa Gagak? Kangmas pasti tahu kalau gagak identik dengan keburukan bahkan kematian. Kenapa tidak Gagah Sali saja?”

Raut muka Sumana seketika berganti, siap untuk mendebat. “Nimas terlalu memandang skeptis pada gagak. Selama perjalanan ke Pajang, aku diikuti burung itu dan seolah-olah memberi penerangan pada nama jabang bayi kita. Nimas sendiri pernah menari bersama Kanda Hayam yang memerankan Gagak Ketawang. Burung itu luhur, Nimas. Kepintarannya melebihi jenis burung kebanyakan dan kuharap Gagak Sali pun dapat seperti itu, menjadi lelaki unggul melampaui teman-temannya.”

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang