46. Ni Wuri (Babagan Ekstra)

179 27 10
                                    

Dusta jika aku mengatakan tak terbebani oleh Gusti Nertaja. Jangan bilang padanya jika aku mengeluh seperti ini, ya! Kupikir pelarian ke istana akan meringankan kehidupanku yang sebelumnya ke sana kemari membuntuti Bapa berdagang rempah-rempah. Dari kabuyutan menuju ibu kota. Dari Blambangan menuju Trowulan. Singgah di berbagai penginapan, akrab dengan tuak yang sudah dikenal tubuhku sejak aku belasan tahun.

Nyatanya hiruk-pikuk istana tak seindah yang kubayangkan. Semula aku menjadi pembantu juru masak yang saban harinya senang melihatku menderita. Ia sering menyuruhku mengupas bawang merah, agaknya girang jika mataku berair. Hidangan yang disajikan untuk keluarga istana tak sedikit, sehingga piring dan cawan yang menumpuk menjadi tanggunganku.

Aku bersyukur sekali ketika seorang abdi laki-laki mendatangiku di dapur dan bilang pada juru masak, bahwa Gusti Tribhuwana menghendakiku menjadi emban Gusti Nertaja. Akhirnya aku terbebas dari penistaan sang juru masak yang raut mukanya tampak keberatan tatkala aku melangkah meninggalkan dapur. Aku memandangi punggung abdi laki-laki yang menjadi pahlawanku. Sampai sekarang aku ingat betul kulitnya yang mengkilap karena keringat serta rambut lurusnya yang menutupi tengkuk. Sayang, aku terlalu pemalu untuk menanyakan namanya.

Aku tak jadi bersyukur menjadi emban Gusti Nertaja. Bayangan seorang putri yang anggun dan penurut sirna begitu mendapati tingkah polahnya. Ia sering berlari-lari, menyingkap jariknya hingga aku kepayahan menyusul. Ia sering datang ke kepatihan tanpa sedikit pun rasa takut. Bicaranya berlimpah bahkan kadang ia memarahiku, membuat telingaku panas karena terlalu banyak menyerap kalimat-kalimatnya. Kemudian aku tahu Gusti Nertaja pernah membuat dirinya dan Gusti Indudewi terguling ke jurang demi sebuah mahkota dewa yang tak ada harganya.

Aku bernapas lega ketika ia berguru di Pawitra. Namun, dadaku terasa aneh. Seperti ada sesuatu yang hilang. Aku sudah terbiasa dengan tingkah kekanak-kanakannya, dan merasa janggal ketika ia tak lagi mewarnai keseharianku. Selama Gusti Nertaja berguru, statusku masih menjadi emban, tetapi pekerjaanku membantu dayang-dayang. Ketika Gusti Rajapatni Gayatri tutup usia, putri kecil yang beranjak remaja itu kembali ke Kadatwan membawa kesedihan yang membuat hatiku kelu. Seorang yang ceria sepertinya tampak menyedihkan. Aku ingat saat itu Gusti Nertaja dan Prabu Hayam Wuruk mendekam di kamar sampai tertidur karena tak tega melihat eyangnda mereka dilalap kobaran api.

Saat benar-benar berhenti berguru, ia membawa sifat lain yang membuatku bersedih. Ia menemukan cinta pertamanya, lelaki dari Paguhan bernama Dyah Sumana yang semula terkenal angkuh. Hal itu dipertegas dengan ketidakacuhannya pada Gusti Nertaja yang rela merendahkan ego untuk menyapa lebih dulu.

Gusti Nertaja kerap bermuram durja hingga matanya sembap tiap bangun tidur. Ia benar-benar berubah, tak ayal aku merindukannya yang penuh energi. Ia pernah bercerita padaku bahwa ia tak menyukai Gusti Indudewi dan Gusti Sudewi. Aku paham tingkah Gusti Nertaja membuat dua saudari pendiam itu menghindar.

Saat Pangeran dari Sakasanusa dan Haru menerima penolakan dari Gusti Nertaja, dalam hati aku menyatakan kedunguan putri itu. Ssstt, sekali lagi jangan bilang siapa-siapa! Bagaimana tidak, ia menolak pangeran yang tak cuma tampan, tetapi kekayaannya mampu menjajari Wilwatikta. Hanya demi seorang Dyah Sumana yang belum tentu melamarnya.

Namun pada akhirnya aku menyesali kata hatiku yang tak pantas itu. Karena pada suatu malam sehabis pertemuan yang rutin diadakan tiap bulan Caitra, Dyah Sumana mencegatku dan menitipkan pesan lisan yang membuatku girang bukan kepalang meski pesan itu teruntuk Gusti Nertaja. Mereka bertemu dalam keadaan yang lebih baik, telah menemukan jati diri sekaligus kematangan usia. Jika Dyah Sumana terpesona pada tarian penyambutan oleh Gusti Nertaja, maka putri yang kuasuh sejak kanak-kanak itu terpana mendengar alunan seruling dari calon Bhre Paguhan.

Hyang Widhi mengabulkan Gusti Nertaja yang selalu berdoa tiap hatinya terluka mengingat cintanya tak kunjung terbalas. Pernikahan keduanya bukan sebuah akhir yang bahagia. Untukku.

Mereka berpisah dan aku ikut Gusti Nertaja menetap di Pajang. Aku harus mendengar keluh kesahnya akan betapa rindu pada sang Bhre Paguhan. Sebagai orang yang tak pernah merasakan jatuh hati, tentu saja aku bosan mendengar sambatannya yang hampir saban malam.

Pertemuan Gusti Nertaja dengan Dyah Sumana juga bukan akhir yang bahagia untukku, karena mereka memiliki buah hati dan membuatku harus kembali bekerja bagai kuda. Belum dibiarkan istirahat oleh Dyah Gagak Sali yang kerap membuat pinggangku encok di usia kepala dua ini, kelahiran Nagarawardhani membuatku hampir pingsan. Untunglah Gusti Nertaja tak lepas tangan. Jika tak sibuk oleh pekerjaannya, maka Gusti Nertaja menaruh perhatiannya pada dua buah hati yang menjadi perpaduan manis antara sosok Nertaja dan Sumana.

Aku kerepotan dan mengutuk Gusti Nertaja dalam hati ketika ia menitipkan Gagak Sali semalaman, sementara Nagarawardhani dititipkan pada Padma yang merupakan pembantu juru masak seperti nasibku dahulu. Ia bilang, mengurus Nagarawardhani lebih baik ketimbang tangannya kasar sehabis mencuci piring dan cawan. Aku membantah, "Tak ada yang lebih baik saat bekerja di istana. Aku bercita-cita, ketika tenagaku tak dibutuhkan Gusti Nertaja lagi, aku akan menjadi biksuni saja."

Semalaman itu Gusti Nertaja maupun Prabu Hayam Wuruk tak kembali ke istana, karena terjadi Perang Bubat yang mengurungkan Maharaja Wilwatikta memiliki permaisuri. Aku dan Padma rela begadang demi menenangkan Gagak Sali dan Nagarawardhani yang rewel. Mereka baru tidur ketika aku dan Padma mengeluarkan jurus pamungkas— kami menyusui dua balita itu meski tak ada yang keluar dari dada kami. Jurus itu ampuh, membuat mereka cepat terlelap. Jangan mengadu pada Gusti Nertaja!

SEKIAN
Terima kasih bagi pembaca yang bertahan sampai titik ini... See u 👋

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang