36. Sesuatu di Tanah Lapang

86 19 1
                                    

(Jangan jadi silent readers dong, sesekali vote, syukur² comment 🙊)

Guratan aksara di atas daun lontar membuat dahiku berkerut membacanya saksama. Lontar ini diantar oleh utusan Kadatwan, berisi diksi indah yang berasal dari pemikiran Maharaja Majapahit. Intinya Kanda mengabarkan bahwa ia telah menemukan calon permaisurinya dari Kerajaan Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi yang kabarnya menyukai rembulan. Di akhir surat, Kanda memintaku untuk datang ke Kadatwan secepatnya.

"Baru beberapa bulan lalu Kanda mengutus Mpu Sungging, sekarang dia sudah kepincut dengan Putri Sunda," celetukku pada Ni Wuri yang memijat punggungku di bangku kamar.

Malam semakin larut dan Gagak Sali serta adiknya sudah tertidur bersisian. Sesekali terdengar langkah kaki yang melintas di depan kamarku.

"Putri Sunda menerima lamaran Prabu?"

"Pastinya. Lagi pula siapa yang mampu menolak keelokan dan wibawa Kanda Hayam?"

Aku memberi isyarat padanya untuk berhenti memijatku. Ni Wuri pasti kelelahan menjagaku serta anak-anak, tetapi ia menghalangiku untuk mencari emban baru yang bisa membantunya. Katanya ia tak mau kasih sayangku terbagi pada emban lain.

"Kapan Gusti akan berangkat?" celetuknya mengembalikan kesadaranku yang hampir padam.

"Secepatnya. Aku tak mau ketinggalan momen bersatunya Majapahit dengan Sunda."

***

Tempat paling damai di Kadatwan ialah taman sari. Aku akan tinggal di Trowulan dalam waktu yang tak sebentar, sehingga Gagak Sali dan Nagarawardhani yang biasa menghirup udara Pajang harus bisa beradaptasi. Pagi ini cukup sejuk di musim kemarau ketika aku memangku Nagarawardhani dan Ni Wuri membuntuti Gagak Sali yang ke sana kemari memetiki bunga. Anak sulungku itu sudah bisa berjalan, cukup membuat Ni Wuri gembira karena pinggangnya tak lagi jadi korban.

Ekor mataku tak sengaja menangkap keberadaan seseorang di bawah pohon kenanga. Aku membawa Nagarawardhani untuk menyapa orang itu yang ternyata Sudewi. Ia mendongak kemudian berdiri menyambutku.

"Yunda Nertaja, sudah lama tak bertemu," ucapnya. Hidungnya yang lebih bangir dari perempuan kebanyakan membuat kesannya mirip Paman Wijayarajasa.

"Panggil Nertaja saja. Kenapa kau di sini sendirian?" balasku.

Ia terkekeh. "Sudah menjadi rahasia umum seorang Sudewi suka menyendiri."

Aku tak terkejut, ikut terkekeh.

"Tak terasa kita sudah dewasa, bahkan kau sudah menjadi ibu," sambungnya seraya mengusap rambut legam Nagarawardhani kemudian menggendongnya karena anak itu mengulurkan tangan.

"Benar. Aku masih ingat tingkah polahku yang membuat Indudewi takut."

"Sifatku dan adikku hampir sama, dan aku mengakui aku pun tak menyukaimu waktu itu." Nadanya bergurau, tapi aku tahu ia bersungguh-sungguh. "Aku yakin kau pun kesal padaku yang irit bicara."

"Sejujurnya aku tak suka ketika kau melihatku dengan tatapan permusuhan," ungkapku, membuatnya tergelak puas. "Itu sudah berlalu, sebelum kita menemukan jati diri."

Ada persoalan yang sedari tadi mengusik benakku, tetapi kupendam karena terkesan tak patut. Aku penasaran mengapa ia tak kunjung menikah dan bersedia dilangkahi Indudewi dengan Rajasawardhana. Namun, suara tangis Gagak Sali keburu mengalihkan pikiranku. Aku berlari ke arahnya, membopong kemudian mengusap-usap kakinya.

"Ampun, Gusti. Saya lena, saya tak melihat banyak semut geni di sekitar sini." Ni Wuri mengucapkannya dengan tergesa-gesa sembari menuntunku untuk pindah tempat.

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang