12. Lasem

71 17 2
                                    

Ni Wuri menyambut kepulanganku dengan membawakan tas anyaman berisi barang bawaan selama di padepokan. Ia menuntunku menuju peraduan yang lama tak kutempati, tetapi aku tak sabar lagi menemui Kanda Hayam. Kubiarkan Ni Wuri menata barang-barangku di kamar, aku melesat di sepanjang lorong dan bertanya di mana keberadaan Kanda pada prajurit penjaga.

"Kanda! Kenapa aku dipulangkan mendadak begini? Aku jadi berpisah dengan kawan-kawanku." Tak kuindahkan tata krama selagi melontarkan gerutu setelah menyelonong ke dalam wisma dalem milik Kanda.

"Dinda ... sudah bertambah besar saja adik kecilku ini." Ia malah mendekapku.

Aku berontak melepas pelukan itu, kemudian melayangkan tatapan sinis dari irisku. Aku terlampau dongkol dengan titah Kanda yang menarikku dari padepokan sementara persahabatanku dengan Nira makin erat dan interaksi dengan Sumana ada perkembangan.

"Kukira Mpu Dwijokangko mengajarkanmu tata krama selama di padepokan," sindir Kanda setelah melepasku.

"Maaf, Kanda. Jangan salahkan Mpu Dwijokangko. Aku hanya kesal karena Kanda memisahkanku dengan Nira dan Sumana." Kemudian aku menepuk mulutku yang tak bisa menyaring nama yang lebih baik tak kusebutkan.

"Apakah mereka temanmu?"

Aku mengangguk.

"Begitu ... Kukira Sumana kerabat kita yang kau maksud. Dinda jangan dongkol lagi, aku akan mengikutsertakan dirimu dalam kunjungan ke Lasem. Tahun lalu kau kan tidak ikut aku ke Pajang, padahal di sana kelak akan menjadi wilayahmu."

"Kanda menyuruhku pulang hanya untuk berkunjung ke Lasem? Berarti setelah itu aku masih bisa kembali ke Pawitra."

"Bukan begitu. Kau harus tetap di sini sampai penobatanmu menjadi Bhre Pajang nanti."

Aku kembali merengut dan bersedekap. Baru saja aku berharap dapat bertemu Sumana lagi di padepokan. Kanda malah seenak jidat mengaturku mentang-mentang titah raja tak dapat dibantah.

"Dinda, kupikir kau telah belajar mengasah kepekaan, tapi begini saja kau tidak peka. Aku merindukanmu, Nertaja. Kebersamaan kita waktu kecil berlalu begitu saja dan sekarang kita bakal disibukkan oleh urusan politik. Mengertilah kerinduanku, menetaplah di Kadatwan sebelum kau tinggal di Pajang dan jauh dariku."

Selagi merangkai kalimat balasan yang tepat, pandanganku beredar pada wisma dalem yang berkilau keemasan demi menghindari tatapan Kanda yang dalam. Angin bertiup pelan mengelus pipiku yang membara dan kekesalanku lenyap seketika. Hiasan pada pinggiran songsong agung bergoyang tertiup Batara Bayu. Arca Batara Syiwa layaknya mengawasi tiap pergerakan Kanda dengan peletakannya yang berada tepat di depan dampar kencana Kanda.

"Dinda Nertaja!"

Aku mengerjap, pandanganku kembali pada netra Kanda yang kerap menenggelamkanku dalam samudra sehitam arang di bawah lekukan alis tebal yang membuat banyak wanita berbagai kalangan tergila-gila pada Pager Antimun ini.

"Aku tak pandai merangkai kalimat, Kanda. Intinya aku juga rindu pada Kanda. Tak dapat kujelaskan betapa besar rasa sayangku padamu dan keinginan teramat sangat untuk mengulang masa kanak-kanak kita."

***

Aku terjaga oleh suara bising dari persiapan perjalanan Kanda. Langkah-langkah kaki terdengar berlalu lalang, kadang juga tertangkap suara desingan. Mungkin para pengawal sedang menyiapkan tombak dan perisai. Sementara mataku hampir terpejam lagi karena masih petang, aku menangkap suara lonceng pada kalung sapi yang membuatku melek lagi.

Aku melesat ke halaman istana, mendapati Kanda yang sudah lengkap mengenakan agemannya dan tengah berdiri di pendopo mengatur persiapan. Aku menghampiri tanpa menatapnya.

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang