1357 Masehi
Aku mendekap Nagarawardhani yang dibalut berlapis-lapis kain supaya tak kedinginan. Selepas turun dari kereta kuda, aku menunggu Ni Wuri lekas menyusul dengan membopong Gagak Sali yang menginjak usia satu tahun.
Nagarawardhani baru satu bulan lalu meninggalkan rumahnya di perutku, beralih loka ke buana yang memuat keindahan sekaligus berbagai kemelut. Aku tak dapat mengesampingkan kedua buah hatiku untuk menghadiri panggilan Kanda di Kadatwan. Kerabat yang memiliki jabatan pun tak luput dari undangan itu.
Para dayang hilir mudik, patung dan tanaman hias mengisi pelataran Kadatwan yang sekian lama tak kusambangi. Memori masa kecilku berputar, tentu saja banyak tempat yang telah berubah.
Kami diberi jamuan setibanya di balairung. Aku memercayakan Nagarawardhani yang pulas di peraduan pada Ni Wuri, sementara Gagak Sali memainkan berbungaan yang digenggamnya erat-erat di pangkuan Ibunda yang duduk bersebelahan denganku. Sumana di seberangku tak henti-henti menyunggingkan senyum bangga sembari menatap jagoan kecilnya.
"Para saudaraku sekalian, tentunya undanganku untuk kalian bukan tanpa sebab. Selama dua puluh empat warsa aku hidup di dunia ini, aku tak pernah dekat dengan perempuan. Hal ini membuat Ibunda kuatir." Hampir semua orang yang ada di balairung menengok pada Ibunda yang wajahnya sudah semerah tomat. "Maka, aku memberitahu saudara sekalian bahwa aku mengutus Mpu Sungging Prabhangkara untuk melukis putri tercantik di Nusantara."
Riuh rendah bersahut-sahutan. Banyak di antaranya memberi ucapan selamat dan harapan semoga lancar pada Mpu Sungging yang tampak gembira. Jiwa seni pada lelaki itu kentara sekali dari penampilannya yang jauh dari kata rapi. Rambut berubannya separuh digelung, sisanya tergerai menutupi punggung. Kumis dan jenggotnya terlihat hampir menutupi mulut. Ikat pinggangnya tampak miring dan kain bawahannya tak tertata.
"Setelah ini, kuharap tak ada lagi yang mendesakku untuk segera memiliki permaisuri," pungkas Kanda setelah riuh rendah di balairung mereda dan semua orang kembali menaruh atensi pada Kanda.
Selesainya pertemuan itu, aku menyempatkan diri untuk ke taman sari demi bersua dengan Sumana yang kini membopong Nagarawardhani sekaligus menciuminya, membuat bayi itu merengek tak nyaman karena kumis Sumana yang lama tak dipangkas. Banyak pohon maja yang menaungi taman dari teriknya siang hari.
Aku terkikik ketika Ni Wuri memijat pinggangnya sembari memegang tangan Gagak Sali yang belajar berjalan. Maaf, Ni. Setelah menjadi embanku, kamu harus direpotkan lagi untuk mengurus keturunanku, batinku.
"Nagarawardhani cantiknya seperti Nimas," celetuk Sumana seraya memandangi putri kecil di gendongannya.
"Hidungnya bakal bangir seperti Kangmas," sanggahku.
"Bulu matanya lentik seperti Nimas."
"Bukannya lebat seperti milik Kangmas?"
"Rambutnya seperti Nimas."
"Rambut kita, kan sama-sama bergelombang, Kangmas."
Kami tergelak dan Nagarawardhani ikut memamerkan gusinya. Sumana menggelitiki lehernya dengan kumis, membuatnya kian terkekeh-kekeh.
"Nimas tidak menemui Prabu Hayam?" Sumana berhenti mengusili Nagarawardhani setelah putri kecil itu hampir menangis karena kesal.
Mendengar Sumana yang usianya lebih tua dari Kanda memanggilnya "prabu" sungguh menggelikan bagiku.
"Kanda pasti sibuk. Setelah pertemuan itu dia langsung pergi."
"Sepertinya malah Nimas yang sibuk. Aku sempat berbincang dengan Prabu, tadi beliau mencari Nimas."
"Apa yang dibicarakan Kanda dengan Kangmas?"
"Beliau mengajakku ikut serta ke Pantai Selatan."
Mungkin Kanda mencariku untuk mengajakku juga. Aku tak mungkin ikut dan meninggalkan kedua anakku. Kupanggil Ni Wuri untuk bertolak dari taman sari kemudian menemui Kanda. Sementara Sumana tak berlama-lama di Kadatwan dan kembali ke Paguhan.
Setelah ke sana kemari mencari Kanda, aku menangkap suara dentang senjata dari halaman istana yang kemudian kutuju. Kudapati Kanda duduk di bale bengong— panggungan tinggi di depan istana yang dibuat untuk raja melihat latihan perang-perangan. Aku menitahkan penggawa yang berjaga di pintu istana untuk memberitahu Kanda bahwa aku ingin bertemu. Tak berselang lama, Kanda turun dan memamerkan senyum menawannya padaku yang dibuntuti Ni Wuri.
Ia membawa aroma yang semerbak, meminta Gagak Sali yang lekas mengulurkan tangan tanpa rasa takut dari gendongan Ni Wuri.
"Maaf aku tak mengunjungi Gagak Sali atau Nagarawardhani ketika mereka baru lahir," ujarnya.
"Kanda tak perlu minta maaf."
Kanda mengisyaratkan Ni Wuri untuk memberi jarak pada percakapan kami. Akhirnya emban itu melangkah keluar pintu istana dan barangkali mencuci mata dengan pemandangan prajurit yang menjadi seleranya.
"Dinda, apa pendapatmu jika aku menyukai seorang dayang?" bisik Kanda ketika kami berjalan di sepanjang lorong. Beberapa prajurit berjaga di dekat obor yang mati ketika siang hari.
"Kisah cinta Kanda dengan dayang itu akan berakhir menyedihkan." Tak ayal tanggapanku membuat pandangannya turun dan aku menyadari ia tak sedang bergurau. "Tak mungkin Kanda benar-benar menyukai dayang, bukan?"
"Ssstt, jangan keras-keras! Ini rahasiaku. Aku tertarik pada Anvaya sejak ia dan Ki Gandhi menyaksikan penobatanku. Rasa itu kian menjadi karena aku sering melihatnya berlalu lalang."
Aku membelalak, mulutku ternganga. "Apakah Kanda mencari permaisuri hanya untuk mendapatkan Anvaya yang akan dijadikan selir?"
Kanda menjentikkan jari. "Tepat sekali. Walau tak dapat dipungkiri aku pun mencari permaisuri yang mampu menarik hatiku juga."
"Kanda tak cukup dengan satu wanita?"
"Dinda tahu sendiri dari leluhur kita, raja-raja sebelumnya."
Aku menggeleng, menatapnya sendu. Perempuan mana yang mau dimadu, meski oleh raja yang berwibawa pun aku yakin tak ada perempuan yang benar-benar rela.
"Terima kasih Kanda sudah memercayakan rahasia ini padaku. Kanda tak butuh penghakiman, tetapi perlu didengar. Aku akan mendukung apa pun yang baik bagi Kanda," ujarku.
"Aku melakukan ini atas permintaan Anvaya."
"Kalian sudah sedekat itu?" Lagi-lagi aku membelalak. Kami terus menyusuri lorong dengan langkah lambat dan sesekali Kanda mengajak bicara Gagak Sali yang tampak gembira digendong sang Maharaja Wilwatikta.
"Kami sering bertemu diam-diam. Ia memintaku untuk mencari seseorang dari kasta yang sama untuk dijadikan permaisuri, baru dia bersedia kujadikan selir."
"Setelah niat itu terlaksana, kuharap tak ada dari mereka yang membendung sakit hati. Karena sebagai perempuan, aku tahu bagaimana rasanya cemburu," pungkasku sebelum minta diri untuk siap-siap kembali ke Pajang sebelum sang rawi tenggelam. Sebetulnya aku cuma tak ingin berlama membahas niatnya itu, sebab aku tak suka gagasan lelaki menikahi lebih dari satu wanita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nertaja (Sang Rani Pajang)
Historical FictionPara pujangga enggan menulis kisah Bhre Pajang, bahkan namanya pun jarang sekali dimuat dalam kakawin maupun serat. Begitu pula dengan puspa hatinya yang memang menghindari banyak perhatian. Padahal mereka masih memiliki darah biru yang kental dari...