31. Kebenaran yang Tersingkap

57 14 0
                                    

Tak ada nikmat duniawi yang menandingi sepasang insan yang tengah bercinta. Seakan-akan mayapada hanya milik berdua, tak mengindahkan lontaran kenikmatan diiringi keriut dipan yang mungkin saja terdengar oleh pengawal yang menjaga pintu peraduan. Aliran menggetarkan dan cengkeraman tanganku pada lengan Sumana memunculkan lenguh ketika puncak kenikmatan melanda. Kantuk menggandrungi kami yang terbaring lunglai. Mengenyahkan ingatan percekcokan kami yang telah usai.

Hasrat yang menggebu-gebu itu membuahkan manusia baru yang terdeteksi beberapa purnama sekian dengan perasaanku yang jungkir balik seiring muntah saban harinya. Tabib mengumumkan pada warga keraton bahwa Rani Pajang tengah mengandung. Tak lama berselang, Sumana bertandang kembali ke Pajang untuk menyapa jabang bayinya.

"Meski aku tak bisa berlama-lama di sini, aku janji bakal rutin mengirim surat untuk Nimas," katanya selagi mengamatiku yang tersipu.

Pernikahan kami sudah setahun lewat, tetapi karena jarang bertemu, kami seperti anak muda yang sedang pacaran di taman sari. Ia menyelipkan mawar merah muda di telingaku dan aku menyelipkan kembang melati di telinganya.

"Nimas tahu saja kembang kesukaanku."

"Kangmas juga."

"Apakah kasus kemarin dulu itu sudah tuntas?" Setelah aku menggeleng, ia melanjutkan, "Sudahkah menyelidiki orang-orang Keraton?"

"Aku tak enak jika mereka tahu kalau aku mencurigai mereka."

"Jangan merasa tak enak, Nimas. Jangan percaya sepenuhnya pada pemegang baluwarti. Mereka lambat menyelidiki kejahatan itu, entah mereka bekerja sama dengan pelaku atau malah mereka sendiri pelakunya. Aku tak berniat mencampuri urusan ketatanegaraan Nimas, tetapi aku tak terima jika Nertaja-ku tiap hari murung. Aku tak ingin putra kita nantinya memiliki sifat pemurung."

Sumana selalu memiliki daya pikat yang membuatku tak dapat berpaling, entah dari paras maupun tutur katanya yang menenangkan. Melepasnya kembali ke Paguhan sungguh enggan meski sebulan sekali kami dapat bertemu di Kadatwan. Kesalahpahaman yang terjadi antara Sumana dan Nira membuatku sering parno, dan aku tak lagi mengagung-agungkan kepekaan batinku akan masa depan karena paranoid selalu membawa sugesti negatif hingga mencampuradukkan bayangan baik dan buruk yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Aku merekahkan senyum meski hatiku merana dengan lambaian Sumana yang menyembul di jendela kereta kudanya. Surai lebatnya dikibarkan angin fajar, menutupi sebagian paras menawan sosok Bhre Paguhan. Aku menghentikan lambaian tanganku setelah ia hilang dari pandangan, terhalang pepohonan yang berderet di sepanjang jalur Keraton Pajang.

"Kakang, kasus pembunuhan Buyut belum juga tuntas. Aku tak dapat lebih lama menunggu hasil pemegang baluwarti," beoku pada Patih Yuwana yang senantiasa menyertaiku dan membuat Ni Wuri menjadi pendiam.

"Ingsun akan melaksanakan apa pun titah Gusti," jawabnya.

"Selidiki para nayaka secara diam-diam. Cari senjata atau kain yang menjadi barang bukti!"

"Sendika dhawuh, Gusti." Ia melesat menuju kompleks para nayaka.

Aku berpaling pada Ni Wuri yang cemberut menatapku. Aku terkekeh kemudian ia menggerutu.

"Seperti tak punya pekerjaan lain saja dia membuntuti Gusti. Ini kan sudah menjadi tugasku sebagai emban."

"Sabar, Ni. Kalau Kakang Patih mendengar, tamat sudah riwayatmu."

Menyelidiki kompleks nayaka pasti membutuhkan waktu tak singkat karena harus menunggu waktu lengang. Tak mau bosan menunggu kabar dari Patih Yuwana, aku melangkah ke peraduan kemudian memejamkan mata meski matahari baru merangkak menuju cakrawala. Entah karena bangun dini hari untuk menyiapkan barang-barang Sumana atau berbadan dua membuatku cepat mengantuk.

Aku tak mengingat apa-apa sebelum pintu diketuk dan Ni Wuri memaksaku beranjak. Terangnya sinar dari jendela menegaskan waktu telah beranjak siang. Aku mengusap mata yang masih memburam, kemudian pasrah ketika Ni Wuri menarik tanganku menuju ruang utama di mana duduklah Patih Yuwana di kursi, menekuri senjata panjang di meja.

Dadaku berdebar, pandanganku silih berganti tertuju pada parang dan sang patih, menanti penjelasannya.

"Ingsun menemukan ini di bawah tempat tidur Ki Gatra," tuturnya tanpa tedeng aling-aling.

Aku membelalak, setengah tak percaya dan setengah lega. Parang bernoda darah kering itu menggambarkan samar-samar kejadian yang disaksikannya, ketika benda itu memenggal kepala Buyut Pambayun yang membelalak penuh dendam. Namun, jemari yang kulihat dalam kilas balik itu tak sama seperti jemari pendek Paman Gatra yang sempat kulihat ketika ia memegang cawan. Ah, barangkali penglihatan spiritualku keliru.

"Segera umumkan pertemuan nayaka dan pemegang baluwarti di sini!"

Patih Yuwana kembali tak lama kemudian beserta orang-orang yang memegang jabatan sebagai nayaka dan pemegang baluwarti. Paman Gatra sepertinya merasakan tatapanku yang terhunus padanya hingga ia mendongak kemudian mengalihkan pandang. Mereka semua bersila sementara aku duduk di kursi dengan meja di depanku memampangkan bercak darah yang melumuri sebagian parang.

"Langsung saja, pertemuan dadakan ini diadakan untuk membahas perkara Buyut Pambayun. Apakah di antara Paman sekalian ada yang mengenal parang ini?" Aku membuka suara. Barang bukti hanya itu. Sedangkan kain penutup wajah pelaku mungkin sudah dibuang atau dibakar.

Tak ada yang menyahut, mereka berpandangan satu sama lain termasuk Paman Gatra yang tak menunjukkan rasa bersalah sama sekali.

"Patih Yuwana menemukan parang ini di bawah ranjang Paman Gatra. Aku hendak mendengar pembelaanmu jika ada."

Empu yang kumaksud melebarkan manik lelahnya. Keterkejutannya tampak alami, membuatku bimbang untuk menjatuhkan tudingan padanya. Ia lekas berdiri kemudian menunjuk Patih Yuwana yang menjulang di sebelah kiriku.

"Dia berdusta! Gusti, hamba sama sekali tak tahu-menahu tentang parang itu. Jika itu milik hamba, dari mana hamba mendapatkannya? Senjata itu hanya diperuntukkan bagi prajurit dan Patih Yuwana berkuasa di atasnya. Patih, jangan mencelakai orang yang tak bersalah!" sangkal Paman Gatra menggebu-gebu hingga dadanya kembang kempis. Netranya tak dapat menampik ketakutan yang melandanya.

"Ni Wuri, tolong sampaikan pada pengawal. Aku membutuhkan perempuan yang menjadi saksi pembunuhan Buyut Pambayun. Paksa dia jika kekeh tak mau datang," mandatku pada emban yang bertimpuh di kananku. Ia beranjak kemudian setengah berlari melewati pintu belakang.

Aku benar-benar menyangsikan jika Paman Gatra yang melakukan pembunuhan. Perutnya buncit, tak kekar sebagaimana pengutaraan lelaki yang membawa kabar duka berminggu-minggu silam. Kecuali jika ia menyuruh orang lain untuk membunuh.

Yang hadir di ruangan ini saling berbisik dan menatap Patih Yuwana dengan sorot antipati. Ni Wuri kembali tak lama kemudian menggandeng perempuan yang menunduk dalam. Bukannya mereda, gumaman malah makin keras. Dan mataku menyipit menyadari bahwa perempuan itu tak lain merupakan istri perusuh yang sempat mendapat teguran dariku di tempat sabung ayam.

Aku mengetuk meja keras-keras hingga mereka semua tutup mulut. "Mari kita dengarkan kesaksian... siapa namamu?"

"Dadari, Gusti." Ia bertimpuh mengikuti sikap Ni Wuri.

"Jangan rikuh. Kita pernah bertemu. Paman Gatra, tolong berdiri!" Aku beralih pada tersangka yang tubuhnya gemetar, entah karena amarah atau gentar.

"Apakah pembunuh Buyut yang kaulihat berpostur sama seperti lelaki itu?"

Dadari menyelisik pandang pada Paman Gatra, kemudian menggeleng dan menatapku takut-takut. Namun, ia lebih kecut hati hingga membelalak ketika menangkap kehadiran Patih Yuwana yang berdiri menjulang di sampingku.

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang