18. Banyolan Daksa Mahaprana

75 17 2
                                    

Tak ada yang menarik perhatianku dalam keseharian istana. Hingga suatu pagi yang gerimis, seorang pengawal mencari keberadaanku yang baru selesai mandi. Ni Wuri muncul dari balik pengawal telanjang dada itu, menarikku ke kamar kemudian meriasku.

Tak hentinya aku bertanya, tapi Ni Wuri terlampau sibuk menyisir rambut bergelombangku yang setengah basah kemudian memasang kelat bahu yang runcing di bagian atas mirip sumping di telingaku. Ia membedakiku serta memoleskan pewarna bibir. Aku memperhatikan rautnya yang mendalam dari pantulan cermin.

"Selesai," ucapnya seraya tersenyum lebar, tak wajar.

"Sekali lagi kutanya, dan ingat tata kramamu, Ni. Sebenarnya kenapa aku mendadak dirias seperti ini?" Aku menekankan setiap kata yang terlontar.

"Pangeran dari Sakasanusa yang beberapa pekan silam Gusti ceritakan itu datang lagi mencari Gusti Dyah Nertaja. Dan Gusti harus berpenampilan lebih layak untuk menyambut pemuda itu."

Aku menghela napas, kemudian menyunggingkan senyum demi pangeran itu agar kesan baikku tercipta di pandangannya.

Tiba di pendopo halaman, aku mendapatinya sendirian, tak bersama dua pengikutnya lagi. Apesnya, Ni Wuri beranjak setelah memastikanku bertimpuh di seberang pangeran itu. Namun, aku yakin ia dan pihak lain mengawasi kami dari kejauhan. Aku dan pangeran itu dipisahkan oleh suguhan-suguhan ringan yang berderet di sepanjang pendopo yang beralas karpet beludru merah.

"Gusti Dyah Nertaja.... Sebelumnya, maaf apabila bahasa Jawaku kurang sesuai. Aku Daksa Mahaprana dari Sakasanusa. Mohon diterima buah tangan dari tanah airku." Ia menyodorkan kotak kayu dengan ukiran sulur yang setelah kubuka menampilkan isinya berupa pahatan sepasang pengantin adat Sakasanusa dan makanan khas sana.

"Terima kasih, Raden Daksa. Aku tak menyangka mendapat kunjungan khusus dari pangeran nun jauh di seberang segara sana." Aku mengimbangi tuturannya yang berekor panjang, maksudku bukan sekadar kalimat pendek.

Ia ikut tersenyum, gigi gingsulnya menambah kadar manis paras itu. Kulit kuning langsat dan matanya yang agak sipit tampak seperti keturunan bangsa Mongol, tetapi itulah ciri khas Sakasanusa yang berbeda dengan Jawa Dwipa.

"Aku penasaran, jelmaan dewi mana Gusti Nertaja ini hingga membuat mataku nyaris tak mampu berkedip." Ia melontarkan rayuan, tepat seperti yang kuduga. Kedatangannya mencariku tentu ada maksud tertentu.

"Aku pun bertanya-tanya apakah Raden Daksa titisan Bathara Candra hingga sinarnya menyilaukan mata."

Aku membalas rayuannya biar imbang. Aku tidak enak jika ucapannya hanya kubalas dengan gelak semata. Jika dia banyak bicara, aku dapat mengimbanginya. Jika ia banyak diam, aku pun bisa berlaku sama. Perangaiku berdasar atas perilaku orang lain terhadapku. Itu saja. Tak ada maksud lain. Kuharap ia tak terbawa perasaan.

"Bisa jadi," kelakarnya. Tak ayal aku tertawa lebih keras. Setidaknya Daksa lebih hangat dari Sumana.

Aku mengambil potongan gula jawa yang dihidangkan di depan kami dan mengisyaratkan padanya untuk mengikuti.

"Ini gula jawa. Apakah di Sakasanusa ada juga?" tanyaku.

"Ada, tetapi tak sebanyak di Jawa. Kami menyebutnya gula merah." Ia masih memamerkan gigi gingsulnya sebelum melanjutkan, “Rasanya tidak manis."

Aku menaikkan alis, mungkin pengecapnya tak seperti lidahku.

"Sebab, yang manis hanya Gusti Nertaja," sambungnya.

Mulutku ternganga, perutku tergelitik. Aku tersenyum jenaka sebelum membalasnya, "Benar kataku. Tak dapat kautampik bahwa kau titisan Bathara Candra. Kupikir kita butuh cermin agar Raden Daksa dapat melihat bulan sabit di bawah alis itu."

Rona di pipinya membara, membuatku tak berhenti tertawa.

***

"Bagaimana?" Kanda menghampiriku yang tengah bertumpu tangan di jendela kamar.

"Tentang apa?" Aku menengok, merasa teduh dengan raut yang Kanda pasang di bawah kemilau mahkota.

"Pangeran Daksa."

"Oh, dia lelaki yang santai berbincang denganku. Aku suka kepribadiannya."

"Jangan mudah menyukai seseorang, Dinda." Alisnya menukik, membuat netranya tampak tajam.

"Ini bukan seperti yang Kanda pikirkan. Aku senang kami dapat bercanda seperti aku dan Kanda dahulu,” paparku berusaha menghalau kegugupan.

"Bercanda bagaimana? Apakah rayuannya bisa disebut gurauan? Jangan mudah terbuai, bisa saja ia bersikap seperti itu di depan wanita lain."

"Aku sama sekali tak terbuai, menganggap itu lelucon karena ia orang yang asyik sepertimu, Kanda. Setidaknya ia bisa membuatku tertawa dan tidak kesepian semenjak Kanda naik takhta."

Aku tak dapat mencegah air mata menggenang di pelupuk. Ah, aku jadi mengharap seseorang menaruh bawang merah yang bisa disalahkan.

“Maaf, Dinda. Bukan maksudku bersikap keras padamu.” Kanda menyentuh bahuku. Tangannya yang dingin membuatku tersentak menjauh.

“Aku merasa kehilangan orang-orang yang dulu membuatku gembira. Aku kehilangan Paman Mada dan Kanda Tetep meski kalian ada di sekitarku. Kalian selalu sibuk dengan urusan politik. Tak bolehkah aku sekadar tersenyum pada orang lain yang membuatku senang?” Aku bukan pribadi yang dapat menyimpan beban sendirian seperti Kanda. Aku tak mampu menahan mulutku untuk mencurahkan bebanku pada sang Nata Wilwatikta, Kanda-ku yang banyak berubah.

Kanda mendekapku, mengecup ubun-ubunku, membuat hatiku kian tersayat hingga air mataku tambah deras. Meski ia selalu menyayangiku, ia bukanlah Raden Tetep yang dulu. Ia semakin pendiam, bahkan tak pasti sehari aku dapat bertukar sapa dengannya.

“Terima kasih telah memberiku perhatian, Kanda. Aku bakal selalu berhati-hati dengan lelaki. Jangan khawatir.” Aku menatap netranya yang sayu, membuat senyumku urung terkembang. “Kanda sedang tidak enak badan?”

Ia menggeleng, tetapi aku tak percaya. Kantung matanya cukup menjelaskan bahwa ia kurang istirahat. Bibirnya yang pucat menerangkan ia kurang minum air bening.

“Kanda jangan memaksakan diri. Jangan memendam beban sendirian. Kanda mempunyai Poham Narendra³⁹ untuk mendapat solusi pemerintahan. Dan aku selalu ada untuk mendengar hal yang mengganjal pikiran Kanda yang tak dapat dibagikan dengan mereka. Aku yakin dapat membantu,” cakapku.

“Aku dapat memahami bagaimana rasanya jadi Prabu Jayanegara ketika ia juga naik takhta pada usia muda. Di saat pemuda lain menjalani kebebasan di alam, kami harus berurusan dengan pemerintahan sekaligus mahkota berat yang membuat kepala pening.” Kanda berusaha menghindari tatapanku, menatap lurus panorama taman sari dari tirai yang tersibak.

“Pasti sukar menanggung semua itu. Namun, aku yakin Kanda mampu melewatinya. Kanda sudah digembleng sejak kecil, Kanda sudah kebal. Semangat, Kanda.”

“Aku cemas ada yang memberontak karena tak suka kebijakanku.”

“Jangan risau. Ada Paman Mada di belakang Kanda. Pihak-pihak yang berani makar akan kena sabetan parang di lehernya.”

Helaan napas puas menggandrungiku ketika senyuman Kanda merekah dan antusiasme membara di iris gelapnya.

_______

³⁹ Poham Narendra : Dewan Penasihat Raja.

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang