42. Melepaskan Nagarawardhani

94 20 0
                                    

Ada yang lebih tajam dari pedang, yakni lidah para dayang yang mendesis dari telinga satu ke telinga lain. Sudah beberapa purnama aku pura-pura tak tahu penyebaran rumor Kakang Yuwana yang menciumku di lorong. Lelaki kurang adab itu masih menjadi bulan-bulanan para penggawa. Jika ia sampai ketemu, aku takkan mengampuninya lagi.

Kabar yang dibawa tabib wanita memperburuk keadaan. Aku menganggap ini sebagai kegeruhan, tetapi lain untuk Gagak Sali dan Nagarawardhani yang berjingkrak gembira.

"Aku akan menjadi seorang kakak," kata Nagarawardhani.

"Jangan sombong, Nagara. Lihat saja kalau dia laki-laki, akan kuhasut dia untuk mengusilimu," timpal Gagak Sali.

Aku berusaha tersenyum, mengutuk diam-diam perutku yang mudah sekali dibuahi. Terlebih rumor kedekatanku dengan Kakang Yuwana belum surut sementara Patih Wesi mengutus penggawa untuk mengabarkan kabar gembira ini pada Sumana.

"Gusti, rombongan Lasem tiba di gerbang," celetuk Patih Wesi yang muncul di pintu kamar yang kubiarkan terbuka.

Langkahku dibayangi pertanyaan gerangan apa pagi-pagi Indudewi kemari? Aku tiba di halaman, menyambut Indudewi yang setengah berlari untuk memelukku. Sudut mataku melihat kereta kencana yang dibawa ke sisi barat Keraton. Aku menyampirkan selendang merah jambuku pada bahunya setelah merasakan kulitnya yang dingin.

"Selamat atas kabar gembiranya, Yunda. Kudengar Gagak Sali akan memiliki adik lagi," ucapnya.

"Dari mana kau mengetahuinya?"

"Tembok saja punya telinga, apalagi pedagang Lasem yang berniaga di pasar Pajang."

Aku menuntunnya menaiki undakan tanah kemudian duduk di kursi empuk ruang utama Keraton. Ia mengedarkan pandang pada sekeliling yang kusadari tak semegah Keraton Lasem. Ia baru pertama menjejakkan kaki di tanah Pajang, patut netranya berbinar meski wilayahnya tak kalah elok dari wilayah ini.

Aku tak menaruh perhatian lebih pada beberapa dayang yang meletakkan suguhan di atas meja. Aku tak lagi respek pada mereka setelah rumor tersebar padahal Ni Wuri sudah memperingati dayang-dayang itu untuk mengunci mulut.

Omong-omong Ni Wuri, ia datang tak lama kemudian bersama Nagarawardhani yang baru selesai mandi, terlihat dari ujung rambut sepundaknya yang basah. Ia menyalami Indudewi yang tampak semringah, kemudian duduk di kursi sebelahku.

"Gagak Sali sedang belajar?" tanyaku pada Ni Wuri yang bertimpuh di lantai halus dari batu andesit.

"Benar, bersama Patih Wesi."

"Sepagi ini?" timpal Indudewi.

"Mengasah kanuragan lebih enak pagi seperti ini. Kalau siang terik, dia cepat letih." Aku menyesap teh melati yang aromanya mengingatkanku pada Sumana yang mungkin sedang dalam perjalanan kemari.

"Yunda, Dewata memberimu kemujuran dengan adanya putra-putrimu."

Aku langsung menangkap maksudnya. "Bersabarlah, Indudewi. Pasti Dewata akan memberi kesempatan padamu dan Rajasawardhana."

"Tabib sudah menyimpulkan kami tak bisa." Ia menjeda sembari menaruh atensi pada Nagarawardhani yang balas menatap dengan lugu. "Maka dari itu, aku hendak memboyong Nagarawardhani sebagaimana dahulu Ibunda Tribhuwana mengambilku dari Ibu Rajadewi."

Hatiku bagai diguyur air terjun yang dinginnya tak terkira. Tanganku terkulai, menggenggam tangan Nagarawardhani yang tampaknya bisa memahami maksud bibinya. Ia menggeleng dan aku hanya bisa membisu.

"Kau tak merasakan betapa kesepiannya diriku, Yunda. Percuma usahaku memajukan Lasem jika aku tak punya penerus." Indudewi kembali membujukku.

"Aku tak bisa memutuskan sebelum Sumana tiba di sini. Lagi pula, kaulihat sendiri Nagarawardhani menggeleng."

"Aku yakin Yunda tak seegois itu, sebagaimana ibuku melepasku pada Ibunda Tribhuwana. Aku sudah menyiapkan kereta terbaikku untuk menjemput Nagarawardhani, dan kuharap itu tak sia-sia."

Aku melipat bibir ke dalam. Netraku mengerling pada Nagarawardhani yang bibirnya melengkung ke bawah menahan tangis.

Indudewi melanjutkan, "Aku mohon. Kalau Sumana tak mengizinkan, ia bisa mendatangiku ke Lasem untuk meminta kembali Nagarawardhani."

Aku tahu itu tak mungkin. Jika Sumana melakukannya, pihak Lasem akan menganggap kami terlalu egois dan itu mencoreng nama baikku dan Sumana. Permohonan Indudewi yang cenderung memaksa membuatku muak, terlebih ia selalu mengungkit Ibunda yang mengambilnya dari ibu kandungnya.

"Tak bisakah kau menunggu sampai jabang bayiku lahir?"

"Tidak selama itu. Rajasawardhana akan memiliki selir jika aku tak membawa Nagarawardhani hari ini. Hubungan kami tak seharmonis hubunganmu dengan Sumana, Yunda. Jika bukan karena ancamannya, aku takkan tega mengambil Nagarawardhani darimu. Maafkan aku." Ia terisak, bahunya berguncang menjatuhkan selendangku yang tadi kusampirkan.

Yang baik parasnya, belum tentu baik tuturnya. Yang baik tuturnya, belum tentu baik sikapnya. Yang baik sikapnya, belum tentu baik hatinya.

***

Aku menumpahkan air mataku selepas kereta kencana hilang dari balik gapura. Mengingat Nagarawardhani yang menangis dalam diam cukup menegaskanku betapa kecewanya ia padaku. Aku siap menerima kebenciannya. Namun aku tak siap menghadapi Sumana yang wajahnya memerah setelah ia bertemu Gagak Sali dan tak menemukan Nagarawardhani. Aku memberitahukan yang sebenarnya dengan air mata yang terus mengucur.

"Aku bahagia kau mengandung lagi, tetapi kautahu kasihku pada Nagarawardhani lebih luas dari samudra. Kenapa kau melepasnya tanpa menungguku tiba? Hanya butuh waktu sebentar untuk menantiku."

Aku menunduk, tak berani adu tatap dengan maniknya. Mendengar suaranya saja sanggup menggetarkan benakku.

Ia menanti balasanku. Tatapannya terasa menelanjangiku bulat-bulat di bawah lembayung senja yang menerobos ventilasi kamar.

"Indudewi mengungkit Ibunda yang dulu mengangkatnya dari Bibi Rajadewi. Dia berharap aku tak egois karena ia mengambil Nagarawardhani atas ancaman suaminya yang hendak memiliki selir."

"Dan aku mendengar dari pengawalku. Apa benar kau menyeleweng pada Yuwana?"

Jantungku terasa berhenti berdetak. Rumor yang keluar dari mulut dayang tak seberapa ketimbang dari mulut orang yang paling kucintai.

"Tidak! Kuharap Kangmas lebih memercayaiku ketimbang dergama para dayang."

"Tapi atas dasar apa mereka menyebar dergama? Pasti ada hal yang mendasari mereka berasumsi seperti itu. Aku perlu kejujuran."

Aku tak sanggup mengatakannya. Kepalaku terbayang bagaimana Kakang Yuwana begitu dekat denganku. Perutku bergejolak ketika merasakan kembali bibirku yang ternoda. Menjijikkan. Lelaki itu pantas dibakar hidup-hidup. Aku hanya bisa tersengut-sengut dengan bahu gemetar, tak mengindahkan seberapa keras Sumana mengguncang dan mencengkeram pundakku. Tubuhku terkulai, wajahku terbenam dalam bantal putih yang kemudian basah oleh air mata. Aku tahu Sumana telah meragukan jabang bayi dalam perutku merupakan darah dagingnya. Ia berlalu dengan membanting pintu kamar.

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang