28. Terjerat Kodrat

59 17 2
                                    

Keresahan yang belakangan ini memayungiku agaknya berakar dari kenahasan ini. Tak cukup aku tersentak hingga napas kembang kempis, kepalaku pening bukan kepalang hingga aku ambruk apabila Patih Yuwana tak segera menangkap bahuku.

"Dewata... Begitu banyak dosaku hingga kekacauan kerap timbul," ratapku memegang dada yang serasa dihunjam benda tajam.

Aku sama sekali tak menyangka ambisiku bakal memakan korban. Pikiranku melayang pada nayaka yang kemarin enggan menyetujui tindakanku. Namun, aku tak dapat asal mendakwa mereka dalam suasana kalut ini.

"Adakah saksi matanya?" tanyaku di sela-sela kemelut rasa ingin muntah.

"Ada perempuan yang seharusnya ikut hamba, tetapi dia masih trauma." Pemuda itu diam sejenak seperti menimbang sesuatu.

"Apakah ada kemungkinan pelakunya anggota Keraton? Aku perlu mendengar sendiri saksi mata itu, tetapi menunggunya sembuh dari trauma tentu akan memakan waktu."

"Pelakunya tidak menunggang kuda, sehingga kami menduga dia hanya kawula yang punya dendam pribadi."

"Aku tak punya cukup waktu untuk meminta keterangan pada perempuan itu. Tak adakah ciri-ciri lain pembunuh itu yang kau ketahui?"

"Hamba harap Gusti mau menerima keterangan dari hamba yang sempat mendesak saksi mata itu untuk bicara." Pemuda itu terpekur.

"Lanjutkan," pintaku seiring dentaman dada berangsur normal.

"Ini terjadi saat pagi buta dan hujan belum turun. Tetangga hamba itu baru mencuci pakaian di Loh Wana ketika orang yang mengenakan kain hitam sebagai penutup wajah keluar dari rumah Buyut Pambayun, membawa parang berlumur darah."

Kain hitam, parang berlumur darah.

"Bagaimana perawakannya?"

"Kekar, jangkung. Rambutnya cepak seperti beliau." Pemuda itu menunjuk Patih Yuwana, kemudian mengatupkan tangan setelah menyadari tindakannya.

Patih Yuwana memang berambut cepak, tetapi beberapa pejabat pun memiliki gaya rambut yang sama termasuk anggota nayaka. Dan tak mungkin Patih Yuwana membunuh orang demi menghambat impiannya sendiri.

Pemuda itu undur diri setelah pengawal yang tampak dongkol memastikan tak ada lagi yang hendak disampaikan. Aku menitahkan pengawal itu untuk mengabarkan peristiwa pembunuhan kepada pemegang baluwarti⁵⁰ yang berwewenang menyelidiki perkara ini.

Aku tak dapat terlelap hingga jago pertama kali berkokok. Kepalaku terus berisik, bertanya-tanya siapa yang membunuh Buyut Pambayun dan apa tujuannya. Apakah benar dendam pribadi atau untuk menghambat pembangunan tanggul yang melibatkan buyut itu?

Aku memercayakan persoalan itu pada pemegang baluwarti sementara aku, Ni Wuri, dan segenap pengawal berangkat ke Kadatwan sebelum mentari terbit pada dini hari. Kurapal doa sepanjang perjalanan, meminta perlindungan-Nya dari hal buruk apa pun.

Tapak kuda meniti setapak dalam kelajuan. Aku tak begitu memedulikan guncangan ketika melewati jalan berbatu, kepalaku terus merenungkan peristiwa yang memaksa pembangunan tanggul diundur.

"Gusti, kita sudah tiba," celetuk Ni Wuri, membuatku menengadah keluar jendela.

"Cepat sekali," balasku.

"Apa maksud Gusti? Ini sudah hampir malam."

"Oh, kukira masih pagi."

Ni Wuri melempar pandangan ganjil yang kubalas dengan cengiran demi menutupi kegundahan. Aku melangkah menuju peraduan lamaku, Ni Wuri membuntuti sembari menenteng keranjang berisi kain ganti kami.

***

Mujurlah semalam aku tertidur pulas akibat guncangan selama perjalanan membuat tulangku bagai mau rontok. Aku enggan beranjak, tetapi Ni Wuri tak jemu-jemunya mengoceh, menyaingi kicauan burung yang menyambut pagi.

"Ah, pagi-pagi sudah menghancurkan suasana hatiku," gerutuku.

"Matahari sudah terlihat, lho. Gusti mesti berseri-seri untuk bertemu Raden Sumana." Bukannya gentar, emban ini malah terkekeh-kekeh.

Selesai membersihkan diri di kolam, aku mengenakan kemban dan kain berwarna ungu, selendang merah jambu kesukaanku bertengger di sekeliling pinggang sampai pinggul. Bedak, celak, dan pewarna bibir terpoles juita di wajahku, wewangian mawar merebak dari kain yang kukenakan. Semua itu tak lepas dari Ni Wuri yang bergerak cekatan hingga sentuhan terakhir, ia memasangkan kelat bahu, sumping telinga, kemudian mahkota.

Aku mengamati secara tak terang-terangan pada anggota Bhatara Saptaprabu yang duduk melingkar sebagai simbol persatuan dan kekeluargaan. Dari Kanda, Ayahanda, Ibunda, Bibi Rajadewi, Paman Wijayarajasa, Indudewi, Rajasawardhana yang menikah dengan Indudewi beberapa purnama setelah pernikahanku, serta Sumana yang sedari tadi mencuri pandang padaku yang tersipu. Samar-samar aku mencium aroma melati khas Sumana yang duduk di sebelah kananku.

Ayahanda menyampaikan kalimat pembukanya lalu kondisi Tumapel yang berjalan seperti biasa dan aku malah memperhatikan gerak kumisnya ketika beliau berbicara. Ibunda mengutarakan keadaan Kahuripan yang para petaninya lebih makmur akibat terbebas dari hama tikus dan burung pemakan padi. Kanda menjadi pendengar yang baik, Indudewi melaporkan rempah-rempah dari Lasem berhasil dikirim ke luar negeri, Rajasawardhana mengutarakan wilayah Matahun tak ada masalah dan ia berusaha memajukan perdagangan seperti prestasi yang dicapai istrinya. Puspa hati Indudewi itu memiliki garis muka yang kontras dengan Sumana. Wajahnya bundar dan kulitnya putih seperti orang-orang Mongol. Rambutnya lurus tak seperti milik Kanda maupun Sumana yang bergelombang.

Ah, mengapa aku jadi menilik sosok Rajasawardhana? Atensiku beralih pada Sumana yang berseri-seri ketika membicarakan rakyatnya yang tak pernah telat menyetorkan pajak. Kemudian saatnya aku mengungkap perihal yang berhubungan dengan Pajang dan peristiwa terkini. Mereka yang ada di ruangan menanti dengan menaruh pandangan padaku yang mendadak patah lidah.

"Para nayaka hendak membangun bendungan karena Pajang sering kekeringan. Sementara aku menginstruksikan masyarakat sekitar Loh Wana untuk membangun tanggul untuk mencegah banjir."

"Tindakan yang tepat, Dinda." Kanda berbinar di sebelah kiriku.

Aku meringis bingung sebelum meneruskan, "Sebenarnya nayaka enggan menyetujui tindakanku. Dan kemarin terjadi pembunuhan yang menewaskan Buyut."

Mereka tertegun. Aku sendiri pun malu mengungkapkannya karena mereka pasti akan memandangku tak becus menjadi pemimpin. Namun, Kanda menggenggam tanganku dan memberi tatapan berapi-api alih-alih prihatin.

"Selidiki dengan cermat, Dinda. Jangan sampai salah menjatuhkan hukuman, karena terkadang orang terdekat kita sendiri yang lebih berbahaya," pesannya lirih dan air mataku tak dapat ditahan.

"Lalu siapa yang harus kupercaya? Aku tak punya siapa-siapa di sana. Aku tak seperti suamiku yang gampang disenangi rakyat. Kenapa tempat pemerintahanku dan Kangmas Sumana berjauhan?" Aku menutup wajahku yang pasti berantakan akibat riasan yang luntur. Aku tak tahan lagi memendam beban sendirian. Aku tak peduli jika isakanku mengganggu perkumpulan yang seharusnya diwarnai kebahagiaan.

Kurasakan mereka beringsut mendekat untuk menenangkanku, tetapi aku ditarik Sumana untuk jatuh dalam dekapannya seraya ia mengusap pundakku. Aku merindukan getaran tiap kali kulit kami bersentuhan. Sungguh aku membenci kodrat, menjeratku dalam kubangan politik yang telah merenggut kebebasan bersama puspa hatiku.
_______
⁵⁰ Baluwarti : Pertahanan.

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang