15. Keputusan Ibunda

69 12 0
                                    

Esoknya, aku tak dapat lagi menghias paras dengan raut semringah yang selama ini menjadi ciri khasku. Ruang makan mulai ditandangi anggota istana, mendaratkan diri satu persatu pada alas beludru, menghadap meja rendah yang telah menyajikan rajamangsa dan cawan berisi macam jenis minuman, mulai dari air bening hingga herbal. Tiap sang rawi mulai memancarkan sinar emasnya, kami harus sudah hadir di ruang makan kemudian bersama menyantap makanan yang terhidang. Ada hal yang sedari tadi melunturkan senyumku serta membuat pandanganku tak lepas darinya.

Tepat di seberangku, Sri Sudewi mengunyah daging penyu badawang yang baru dilahapnya. Ia sama sekali tak menatapku seakan-akan aku tak terlihat. Aku tambah dongkol, tetapi masih dapat berlaku wajar sebab tak mau yang lain menangkap gerak-gerikku. Pagi itu tak seperti biasanya di mana selesai sarapan, aku dan Kanda selalu berbagi ocehan. Saat ini aku lebih memilih cepat beranjak dan menemui Ni Wuri.

"Apakah Sri Sudewi akan menetap di sini?" celetukku ketika tak mendapati prajurit penjaga di sepanjang lorong sehingga pembicaraanku aman.

"Benar. Sebab, Paman Wijayarajasa dan Bibi Rajadewi terlalu sibuk sehingga jarang berada di rumah. Sudewi kutitahkan tinggal di sini daripada kesepian. Apakah Dinda keberatan?" Bukan embanku yang menyahut, tetapi suara berat Kanda yang mengikuti langkahku. Ia memiringkan kepala setelah berhasil menyusul. Aku hendak merajuk karena ia mencuri dengar pembicaraanku dengan Ni Wuri, tetapi urung. Aku kadung luruh pada wajah Kanda yang terlampau manis hingga aku tak sanggup membuka suara. "Aku paham perasaanmu. Kau merasa diabaikan oleh Sudewi yang pemurung. Suatu saat pasti kalian mengerti satu sama lain."

"Kanda, lain kali jangan menyerobot percakapanku dengan orang lain!" Aku pura-pura buang muka.

"Kalau tidak begitu, aku tak dapat meluruskanmu, Dinda. Kuharap kau mengerti Sudewi. Ia tak seburuk yang kau pikirkan."

Mendengar Kanda yang memihak Sri Sudewi, aku tak jadi luruh pada paras maupun tutur katanya yang melembut. Aku menyahutnya dengan setengah hati. "Baiklah. Aku percaya Kanda merupakan jelmaan Dewa sampai mengerti isi hatiku yang mengganjal ini. Terima kasih wejangannya, aku teramat bersyukur memiliki kakak yang penuh perhatian."

Senyumnya merekah, matanya menyipit bak bulan sabit. Manis sekali. Aku bakal menjadikannya pria idaman jika ia bukan kakakku. Aku tertawa dalam hati memikirkan itu, sementara Kanda mengusap-usap rambut di belakang leherku dengan sayang.

***

Aku tak menemukan orang yang kucari di Kepatihan. Suasana area ini jauh berbeda semenjak aku meninggalkan Kadatwan demi bersemayam di wanasrama Mpu Dwijokangko. Tak kujumpai pula keberadaan bangku panjang yang biasa diduduki Paman Mada, Paman Maesa Jembawan, Paman Bango Taluwah, dan kadang disertai Paman Nala jika ia tak memiliki tugas mengarungi samudera.

Lapangan tak seramai biasanya, hanya beberapa prajurit yang tengah berlatih. Dan salah satunya menghampiriku, itu Paman Bango Taluwah yang tampil berbeda karena memelihara cambang.

"Nuhun, Gusti Putri. Adakah yang bisa hamba bantu?" Ia buka suara setelah meletakkan parangnya. Aku mencium aroma keringat darinya. Wangi, seperti halnya seluruh prajurit Majapahit.

"Tidak ada, Paman. Aku hanya rindu suasana Kepatihan. Rupa-rupanya banyak perubahan setelah empat tahun kutinggal." Aku terkikik, lawan bicaraku ikut terkekeh. "Meski begitu, Paman sendiri tak banyak berubah. Syukurlah, kita tidak pernah canggung."

"Tentu saja, Gusti. Hamba mengenal Gusti sejak masih belia, terkenal pecicilan, banyak tingkah hingga Gusti Indudewi takut." Tuturannya membuatku tergelak menyetujui.

"Pengamatanku tak menangkap keberadaan Paman Mada. Lapangan juga terlihat sepi. Apakah Pasukan Bhayangkara sedang berperang?" tanyaku. Suasana yang semula santai menjadi serius akibat nada bicaraku.

"Leres³³, Gusti. Mereka sedang berada di Bali."

Tanpa banyak tanya, aku paham Paman Mada sedang menjalankan sumpahnya untuk menaklukkan Bali. Tak habis aku kagum padanya yang tak pernah kenal lelah.

"Hamba ditugaskan Kakang Mahapatih untuk melatih para prajurit baru itu." Ia menunjuk pemuda-pemuda yang tengah beristirahat di bawah pohon maja. "Gusti Putri pastilah mengerti Pasukan Bhayangkara yang sering terjun di medan laga akan berkurang jumlahnya meski hanya segelintir."

Aku mengangguk dan memberi semangat pada Paman Bango Taluwah sebelum ia melanjutkan tugasnya sementara aku kembali ke Keputren. Belum sempat membuka gerbang wilayah khusus kaum perempuan itu, Ibunda terlebih dulu memanggilku.

"Dari mana saja Dinda ini? Dicari-cari tidak ketemu. Lain kali jangan lupa pamit pada Bibi Emban terlebih dahulu."

Aku menunduk menghadap Ibunda. "Nuhun, Ibunda. Aku dari Kepatihan menemui Paman Bango Taluwah dan berbincang sebentar."

"Baiklah, Dinda, aku mengerti. Sedari kecil kau gemar ke sana." Tuturan Ibunda melembut sembari mengusap rambutku yang tak berhias mahkota. Aku sengaja meninggalkan mahkotaku di kamar karena ingin bebas dari benda berat yang membuat kepala pusing itu. Kuharap Ibunda memaklumi sehingga tidak memberiku banyak wejangan.

"Ada perihal yang hendak kubicarakan denganmu."

Aku mengikuti langkah Ibunda dengan dada berdebar, menerka apa yang akan dibicarakan kami berdua. Aku mengingat-ingat jika aku melakukan suatu kekeliruan. Belum sempat menemukan kesalahan yang mungkin kulakukan, kami sudah tiba di balairung yang luas tanpa sekat. Kanda dan beberapa pejabat sudah bersila menanti kami. Tadinya kukira Ibunda ingin bicara empat mata denganku.

Sebelum menyampaikan maksud pertemuan itu, Ibunda menyampaikan salam pembuka dan kalimat pembukaan yang tak terlalu bertele-tele. Hingga sampai pada inti, aku memasang telinga baik-baik.

"Besok ketika ayam pertama kali berkokok, aku akan berangkat kembali ke Kahuripan setelah kutinggalkan beberapa hari. Sementara Dyah Nertaja akan sowan ke Tumapel untuk melepas rindu pada ayahnya, serta meminta restu untuk bersemadi di Gua Sono, tempat Raden Tetep dulu bermeditasi." Aku melebarkan mata mendengar itu. Ibunda mengambil keputusan untukku tanpa mempertimbangkannya denganku terlebih dahulu. Aku tak siap untuk bersemadi sendirian di Gua Sono meski dijaga pengawal. "Hal ini bertujuan supaya kemampuan batin Dyah Nertaja lebih terasah sehingga benar-benar siap ketika naik takhta menjadi Bhre Pajang.

_______

³³ Leres : Benar.

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang