Beberapa purnama setelah penobatan Kanda sebagai Sang Nata Wilwatikta, Ibunda mulai memerintah di Kahuripan dengan gelar Bhre Kahuripan, sementara aku kembali berguru di lereng Pawitra. Semua terasa terpencar, mulai dari Ayahanda yang tinggal di Tumapel, Ibunda di Kahuripan, Kanda di Kadatwan Trowulan, aku di Pawitra sebagai murid Mpu Dwijokangko tanpa kehadiran Ni Wuri, hingga Paman Mada yang berkeliling mancanegara untuk menaklukkan wilayah lain. Tak lupa Paman Nala yang tinggal di pangkalan armada laut di Tuban.
Selepas bermeditasi untuk mendapat sesanti²⁶, aku dan Nira memisahkan diri di bawah pohon randu untuk makan siang. Sebagai cantrik atau murid perguruan tingkat pertama yang sering absen untuk kembali pada urusan istana, aku cukup mampu untuk menyusul cantrik lain dan materi yang aku lewatkan. Namun, tak ayal terasa berat. Aku tak dapat memusatkan diri pada pelajaran terutama olah batin. Pikiranku bercabang pada kerinduan istana dan anggota keluarga yang dulunya hangat. Tiba-tiba aku kehilangan minat untuk belajar di perguruan ini lagi, tetapi aku tak mau keluar dan memberi kekecewaan pada Ibunda sebab aku tak dapat mempertanggungjawabkan keputusan yang telah kubuat untuk berguru di lereng Pawitra.
Aku menjalani pelajaran yang diberikan tanpa menampakkan raut tertekan sama sekali. Karena memang aku menyukai ajaran yang diberikan terutama ketika membaca kidung. Hanya saja ketika bermeditasi aku tak dapat menjalaninya dengan sepenuh hati.
Permadani hitam menyelubung mayapada ketika aku dan Nira selesai membersihkan diri.
"Aku kesepian saat kau di Kadatwan." Nira mengubah posisi telentangnya menjadi miring ke kiri, menghadapku yang telentang seraya menjadikan kedua lengan sebagai bantal tambahan.
"Bilang saja kau merindukanku." Aku menengok padanya seraya tersenyum menggoda.
"Jangan harap. Tapi ada lho yang sepertinya kangen padamu."
Aku menunggunya melanjutkan, tetapi ia bergeming. Setelah aku menaikkan alis, barulah ia melanjutkan kalimatnya yang tampak menggantung.
"Dua hari lalu, Sumana berpapasan denganku di depan bilik Mpu Dwijokangko. Waktu itu aku baru mengumpulkan salinan kidung yang ditugaskan, dan tiba-tiba muncul Sumana yang bertanya kapan kau kembali."
Sejenak aku lupa berkedip. Dadaku seperti kena sengatan sesuatu yang menjalar ke perut kemudian serasa menggelitik, menarik sudut bibirku untuk tersenyum.
"Jangan berbohong demi menyenangkan hatiku, Nira." Aku tak mau melambung terlalu tinggi kalau ia cuma berdusta.
"Memang selama ini aku pernah membohongimu?" balasnya ketus. Dan aku tahu ia berbicara jujur tentang Sumana.
Tanda tanya timbul di benakku. Sebetulnya apa yang dirasakan lelaki itu terhadapku? Jika ia memiliki rasa yang sama, mengapa ia kerap menampakkan tanda-tanda tak suka padaku?
Sepanjang malam aku dibayangi sosok rupawan Sumana yang merindukanku. Tak dapat kucegah khayalanku untuk menggambarkan Sumana yang menggandeng tanganku kemudian kami menyusuri taman sari berdua. Meski membuat dadaku sakit akibat kenyataan ia tak kunjung membalas perasaanku, nyatanya aku bahagia mengkhayalkannya bersanding denganku.
Bagiku, cinta memang butuh perjuangan. Rasa sakit hati itulah yang menjadi perjuanganku menantikan sosok yang belum pasti menjadi jodohku. Jatuh cinta, bermula dari terluka akibat jatuh, sebelum merasakan manisnya cinta sejati.
Dini hari tidurku diusik oleh ketukan pintu yang makin lama seperti digedor. Nira ikut beranjak, tetapi aku yang membuka palang pada pintu sebelum membuka sepenuhnya. Terpampang tubuh jangkung pemuda. Rautnya tampak biasa, tak ada unsur penghormatan atau segan padaku. Syukurlah murid di sini benar-benar menganggapku sederajat dengan mereka.
"Ada apa gerangan mengacaukan mimpiku?" tanyaku ketus tetapi suaraku serak.
"Maaf, Gusti. Aku diperintah Dewaguru untuk menjemput Gusti Nertaja ke kediamannya."
"Nira tak boleh ikut?"
"Hanya Gusti Nertaja."
Setelah mencuci muka di periuk sebelah bilik, aku mengikuti langkah pemuda itu, meninggalkan Nira yang melanjutkan tidur nyenyaknya.
Sesampainya di bilik Mpu Dwijokangko yang paling besar di antara bilik-bilik sisya di wanasrama ini, rupanya banyak sisya lain sudah bersila di hadapan Mpu Dwijokangko yang duduk di kursi kayu. Kebanyakan laki-laki. Ralat, semua laki-laki kecuali diriku.
Setelah ikut duduk bertimpuh bersama mereka yang bersila, Mpu Dwijokangko mengutarakan terima kasih pada lelaki jangkung yang tadi menjemputku. Ia kemudian menjelaskan bahwa sedang mengumpulkan keturunan-keturunan bangsawan yang kelak memegang kuasa di suatu daerah.
"Satu-satunya perempuan berdarah biru hanya Gusti Nertaja, saya harap Gusti tak keberatan mendapat pelajaran astabrata²⁷ bersama sisya laki-laki," ujar Mpu Dwijokangko.
"Tak apa, Dewaguru. Ini merupakan pelajaran penting yang harus kuikuti," jawabku meski sedikit enggan berada di sekeliling pemuda.
Dan, aku baru sadar di antara pemuda keturunan bangsawan itu, pastilah ada Sumana yang dikabarkan akan mendapat pemerintahan di Paguhan kelak kemudian hari. Namun, aku tak mau membiarkan mataku jelalatan mencarinya di ruangan ini hanya untuk memecah konsentrasiku.
"Selayaknya Batara Indra sang dewa hujan, raja atau penguasa daerah hendaknya menghujani anugerah pada rakyatnya. Seperti Batara Yama sang dewa kematian, pemimpin harus menghukum para pencuri dan penjahat. Batara Surya sang dewa matahari, kalian hendaknya menarik pajak dari rakyat sedikit demi sedikit. Seperti Batara Soma sang dewa bulan, kalian sebagai penguasa daerah kelak harus membuat bahagia seluruh dunia dengan senyumannya. Batara Bayu sang dewa angin, kalian mesti mengetahui peristiwa yang terjadi di semua kalangan masyarakat. Seperti Batara Kuwera sang dewa kekayaan, kalian tak dilarang menikmati dunia. Batara Waruna sang dewa air yang punya senjata jerat, kalian harus menjerat semua penjahat. Batara Agni sang dewa api, kalian mesti membasmi semua musuh selekas mungkin."
"Nuhun, Dewaguru, izin bertanya. Maksud dari menghujani rakyat dengan anugerah itu bagaimana?" tanya salah seorang sisya yang suaranya cukup asing tapi terasa familier di saat bersamaan. Aku menengok, mendapati Sumana yang baru menurunkan tangan setelah mendapat atensi dari Mpu Dwijokangko.
Dadaku lagi-lagi berdebar melihatnya. Mata dan alis yang tajam itu selalu membuatku terpesona. Rambut lebat yang menutupi tengkuk membuat hatiku serasa meleleh bagai gula jawa yang dipanaskan. Namun, mataku mulai berkaca-kaca karena insaf pemuda itu tak terjangkau dengan sikap dingin dan tak acuhnya.
"Kau memberi anugerah kepada rakyat di daerahmu, membuat mereka bahagia dengan apa yang kauberikan. Misalnya kau menjadikan daerah mereka menjadi daerah sima yang bebas pajak. Atau kau membagi-bagikan sepenggal harta pada mereka." Penjelasan Mpu Dwijokangko menyadarkanku pada hakikat bahwa aku sedang mengikuti pelajaran tambahan di dini hari hingga pagi nanti, bersama segelintir pemuda berdarah biru yang sama sekali tak kukenal kecuali pemuda yang memiliki nama Raden Sumana.
_______
²⁶ Sesanti : Ketenangan batin.²⁷ Astabrata : Ajaran tentang kepemimpinan pada masa Jawa Kuno.
![](https://img.wattpad.com/cover/345142436-288-k305095.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nertaja (Sang Rani Pajang)
Historical FictionPara pujangga enggan menulis kisah Bhre Pajang, bahkan namanya pun jarang sekali dimuat dalam kakawin maupun serat. Begitu pula dengan puspa hatinya yang memang menghindari banyak perhatian. Padahal mereka masih memiliki darah biru yang kental dari...