Lamaran Sumana bukan layaknya pangeran-pangeran yang menyatakan maksud dengan untaian aksara indah di atas lontar. Melainkan bertutur langsung di hadapan Kanda Hayam Wuruk yang duduk di atas singgasana, memberi perhatian melalui iris gelap padaku yang bertimpuh serta Sumana yang bersila. Sudut bibirnya yang tertarik ke atas cukup menerangkan keselarasannya terhadap hubungan adiknya.
"Aku bahagia melihat adikku bertemu tresnanya. Sumana, kau lelaki beruntung. Jagalah adikku selama sisa hayat kalian. Aku akan memanggil Ayahanda dan Ibunda untuk menentukan hari baik pernikahan kalian."
Kegembiraanku membuncah, air mata membentuk anak sungai di pipi yang menghangat. Tak jauh berbeda dengan bakal suamiku yang berkaca-kaca. Dewata telah memakbulkan impianku secara tak terkaji. Bagaimana tidak? Aku dan Sumana telah sekian tempo tak bersemuka. Sekalinya berjumpa, ia lantas mengutarakan niatnya. Hakikat bahwa perasaanku tak bertepuk sebelah tangan benar-benar sukar kupercaya.
Namun, sesudah Ayahanda menjejakkan kaki yang dilingkari binggel emas di Kadatwan, aku mendapat hal yang janggal dari sorotnya pada Sumana serta cara memanggilnya dengan sebutan "anakku" mampu membuat keningku berkerut. Ibunda yang tiba sehari mendatang pun memuaskan rasa penasaranku tanpa kuminta.
"Bahagiaku tak terbayang mendengar kau akhirnya menerima pinangan. Namun, apa kau sudah memikirkannya secara mendalam akan menempuh sisa hidup bersama Raden Sumana?" Ibunda menatap lurus netraku, kemudian berpaling pada hamparan tanaman di sekeliling bangku taman sari yang dibentengi oleh tembok berlumut.
"Aku menyukainya selama lima tahun terakhir. Dia pun diam-diam mengagumiku dalam rentang waktu yang cukup lama." Aku menunduk, tersipu begitu mengatakannya.
"Aku menghargainya, tapi ada hal yang belum kautahu, dan kuharap ini takkan mengusik perasaanmu."
Aku menanti lanjutannya selama jeda yang cukup panjang.
"Kau dan Raden Sumana adalah saudara seayah." Ibunda tak mampu menatapku selagi mengungkapkannya.
Tenggorokanku tercekat, bahkan kepayahan menelan ludah. Hatiku bagai tersambar geledek di musim kemarau, menyambut kebenaran bahwa lelaki yang akan menjadi puspa hatiku adalah saudaraku sendiri meski beda ibu. Dan kenyataan lain yang menyentak, yakni Ayahanda punya istri selain Ibunda tanpa sepengetahuanku.
"Bagaimana bisa aku tak tahu..." kataku lirih, bahkan hampir tak terdengar jika pendengaran Ibunda tak cukup tajam.
"Aku takut kau tak mengerti perasaanku. Perempuan mana yang tak sakit hati ketika suaminya memiliki perempuan lain." Untuk pertama kalinya, aku tak lagi melihat ketegasan Ibunda, melainkan sisi kerapuhannya.
"Mengapa Ibunda memberi restu pada Ayahanda untuk menikah lagi?"
"Ayahandamu terlebih dahulu menikah dengan Nyai Artati sebelum mengikuti sayembara untuk menjadi pendampingku. Bahkan umur Raden Sumana lebih tua dari kakandamu. Dan pria yang sering datang kemari bersamanya itu adalah pamannya-adik dari Nyai Artati."
"Apakah Kanda sudah mengetahuinya?" Aku berusaha menetralkan suaraku yang telanjur bergetar.
"Aku yakin ia sudah tahu ketika mempelajari garis leluhurnya."
Meski keengganan menyergapku, aku tak dapat berkutik terhadap penerimaanku akan lamaran Sumana. Pantas saja kadar kemanisan lelaki itu mirip dengan Kanda. Semua itu berasal dari bibit yang sama.
Pernikahan dengan sepupu lazim terjadi, tetapi jika calon suamiku dan aku sama-sama memiliki darah Ayahanda, aku merasa aneh. Meski begitu, aku tak mungkin membatalkan pernikahan yang sebentar lagi akan dirapatkan oleh pihak lain demi mendapat hari baik untuk melangsungkannya.
"Apakah Sumana tahu hubungan darah kami? Dan mengapa aku belum pernah melihat Nyai Artati?" Untuk terakhir kalinya aku bertanya sebelum Ibunda beranjak memijak rumput teki yang terlihat bagai permadani hijau melingkupi taman sari.
"Aku yakin ia sudah tahu dari ibu ataupun pamannya. Nyai Artati tinggal di desa terpencil, berpisah dengan Sumana yang tinggal di Keraton Paguhan bersama pamannya. Nyai Artati seperti menghindari hal-hal yang berbau politik, termasuk Kangmas Cakradhara. Sejak ayahandamu menikahiku, ia jarang sekali menemui Nyai Artati."
Aku merasa dibodohi. Mungkin kehadiranku memang tak sepenting itu hingga tak ada yang acuh bahwa aku perlu tahu riwayat ayahandaku yang ternyata juga ayah biologis calon suamiku.
Aku tersadar. Mungkin kenyataan inilah yang menjadi salah satu sebab Sumana hendak menghapus perasaannya kala itu.
"Meski begitu, aku memberi restu setiap pilihanmu dan tak mau mengusik cinta kasih kalian, karena aku mengenal Raden Sumana sebagai kerabat kita yang tak pernah berlaku buruk," pungkas Ibunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nertaja (Sang Rani Pajang)
Ficção HistóricaPara pujangga enggan menulis kisah Bhre Pajang, bahkan namanya pun jarang sekali dimuat dalam kakawin maupun serat. Begitu pula dengan puspa hatinya yang memang menghindari banyak perhatian. Padahal mereka masih memiliki darah biru yang kental dari...