4. Bertalu-talu

143 30 8
                                    

1350 Masehi

Sudah terhitung enam warsa Tari Banyol tercipta. Aku dan Kanda hanya beberapa kali bertemu untuk menarikannya, padahal aku ingin menciptakan tarian lagi dengannya. Namun, Kanda semakin sibuk belajar sehingga waktu bersamaku pun tergerus.

Kanda tampak semringah ketika tahu istana bakal kedatangan para tamu dari kerabat dekat hingga jauh untuk mempererat tali silaturahmi. Selepas tengah malam, para dayang disibukkan menyiapkan makanan dan membersihkan istana dari debu-debu kecil yang teronggok. Mereka membuat gaduh hingga terdengar dari kamarku. Sesekali terdengar dayang senior yang mengomeli dayang lain yang sekiranya tak cekatan.

Sang rawi benar-benar menampakkan diri ketika kerabat tiba, yang langsung disuguhi dengan jamuan makanan dan cawan minuman diiringi basa-basi tentang politik yang membuatku jenuh. Namun, kejenuhan itu tak mampu melingkupi diriku sepenuhnya, karena mataku terasa segar tiap kali memandang lelaki berambut lebat dengan mata tajam yang tampak diam sementara ayahnya kerap tergelak bersama Kanda Tetep.

Lelaki itu ialah kerabat jauhku yang bernama Sumana dan dengar-dengar ia akan menjabat sebagai Bhre Paguhan beberapa tahun mendatang. Kurasa ia mengetahui bahwa aku menatapnya tanpa henti, karena ia membalas tatapanku sekilas. Hatiku berdesir, jantungku bertalu-talu mendapati manik gelap itu berserobok dengan mataku yang kian melebar. Ah, mengapa aku malah membelalak dan memberi kesan horor di pandangan pertama kami?! Meski temu pandang kami hanya sekilas, debar di dadaku tak kunjung reda hingga tak terasa semua telah melahap hidangan yang tersaji di piring emas. Jika saat itu Indudewi tak menyikutku, pasti aku akan tetap terbengong dengan mata kosong yang tertuju ke arah Sumana.

Kucomot iwat taluwah (ikan) dan daging kambing muda sebagai lauk dari nasi yang masih mengepul. Aku menyendok hidangan itu, menunggunya hingga kepulannya sedikit surut, tetapi mendadak aku linglung dan memasukkan makanan panas itu ke mulut, menyebabkan lidahku mengecap rasa terbakar sekaligus membuat mataku berair. Aku terkejut, mengibaskan tanganku pada mulut yang terbuka.

Indudewi menyikut sembari menatapku horor. Detik itu juga aku sadar, banyak pasang mata yang menyorotiku dengan tatapan yang terasa seperti hendak menelanjangiku. Aku meringis malu kemudian menunduk dan mengunyah makanan di dalam mulut yang tak terasa lagi panasnya, terkalahkan oleh rasa malu yang mengalihkan panas itu menuju wajahku. Kulirik beberapa kerabat yang mati-matian menahan tawa karena mungkin khawatir menyinggungku. Padahal aku lebih senang jika mereka semua tertawa karenaku, daripada membisu seperti ini.

"Adikku itu memang senang melucu." Kanda Tetep mencairkan suasana. Ia menatapku dengan tatapan geli beserta mulutnya yang berkedut menahan tawa. Kerabat yang tengah dihadapkan hidangan menggugah selera pun ikut menatapku jenaka kemudian tergelak pelan sesuai tata krama. Sementara itu, aku mendapati Sumana yang cuma tersenyum tipis sekali, bahkan jika mataku tak jeli, senyuman itu tak tampak. Kualihkan perhatian dengan meneguk arak yang tertuang di cawan emas.

***

"Ni, debaran dadaku tak kunjung reda. Tolong panggilkan tabib," pintaku setelah pertemuan kerabat usai dengan para dayang membuang peralatan makan ke Kolam Segaran sebagai bukti betapa megah dan kayanya Majapahit.

"Kenapa Gusti bisa begitu?" Ni Wuri memegang lenganku, bermaksud membantuku yang tengah memegang dada untuk berbaring di peraduan kayu berukir sulur yang dibalut kelambu putih. Emban itu pun bergegas keluar untuk memanggil tabib yang tak lama kemudian memeriksa keadaanku.

"Saya tidak menemukan penyakit serius, Gusti. Saya rasa Gusti hanya perlu istirahat dan menjaga pola makan. Sebelum tidur, saya anjurkan Gusti minum wedang jahe atau minuman hangat lainnya." Setelah itu, sang tabib bertolak dari ruanganku.

Ni Wuri menghampiriku kemudian bertimpuh di sebelah ranjang. "Apakah dada Gusti masih berdebar?"

Aku menggeleng, mataku menerawang ke atas, terbayang rupa lelaki yang menjadi awal mula dadaku bermasalah. "Jika boleh, aku menyalahkan Sumana."

"Maksud Gusti?" Ni Wuri tampak penasaran.

"Sejak mataku beradu dengan milik Sumana, dadaku terus berdetak kencang," kataku kemudian mendapati Ni Wuri mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi, membuat matanya membeliak dan seolah-olah memelototiku dengan kurang ajarnya. "He, Ni! Jangan mendelik pada junjunganmu!"

"Ampun, Gusti. Saya hanya terkejut. Apakah yang dimaksud itu adalah Raden Sumana dari Paguhan?"

"Benar. Dia tampan sekali, tapi pelit senyum." Aku terkikik kemudian, memancing Ni Wuri untuk meneruskan bahan gosip itu. Namun, ia malah kembali mendelik padaku. "Ni Wuri!"

"Saya tak tahu perbedaan antara Gusti bercanda atau serius. Dada Gusti yang berdebar itu dalam arti kiasan atau sesungguhnya?" Ia sepertinya telah melupakan tata krama dengan berbicara nada tinggi padaku, tetapi aku tak begitu ambil pusing.

"Dadaku memang berdebar sampai rasanya ingin keluar menjebol tulang rusuk," sahutku.

"Ah, Gusti ... saya benar-benar tak bisa membedakan apakah Gusti serius atau sedang bergurau!" Ia tampak frustrasi, mengulangi ucapannya beberapa waktu lalu.

"Aku serius, Ni."

"Lalu, perihal Raden Sumana, apakah benar ia penyebab sakit itu?"

"Benar. Mendengar namanya saja jantungku loncat-loncat lagi. Parasnya sungguh menggoda, Ni! Belum puas aku mengamatinya." Aku tersenyum lebar hingga mataku melengkung membentuk bulan sabit.

Ni Wuri bergerak gelisah dengan mondar-mandir di sebelah ranjangku. Ia memegang jidatnya seolah-olah menahan migrain. Kemudian ia menatapku nanar, membuatku kesal lama-lama mendapat perlakuan kurang ajar itu.

"Gusti tengah jatuh hati," ungkapnya masih dengan ekspresi kecut. Padahal seharusnya ia bahagia mendapatiku jatuh cinta untuk pertama kali.

"Mengapa mulut Ni melengkung ke bawah begitu? Seperti mulut sapi saja." Aku berniat menggodanya.

"Mulut sapi tidak seperti ini!" Ia memang mudah terhasut.

"Harusnya Ni mengatakan selamat padaku."

"Masalahnya, Raden Sumana terkenal angkuh. Ia tak pernah menyapa orang lain, bahkan untuk tersenyum pun ia harus mempertimbangkannya seribu kali. Jika Gusti hanya tertarik pada parasnya, sebaiknya buang benih asmara itu. Ketampanan bisa luntur oleh usia, sementara sikap yang mendarah daging tak bisa diganggu gugat." Aku menyimak wejangan itu dan memikirkannya baik-baik.

"Justru sifat misterius itu membuatku penasaran, Ni. Memang parasnya membuat hatiku meleleh, tetapi ada hal lain yang membuatku begitu tertarik padanya. Sikapnya yang tak acuh malah membuatku tertantang!"

"Menasihati orang kasmaran memang tak ada gunanya."

Aku terkikik mendengar kepasrahan Ni Wuri, bagaikan musuh yang angkat tangan menyatakan kekalahan.

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang