1356 Masehi
Lembayung senja menjadi saksi usainya upacara peresmian Sumana sebagai Bhre Paguhan yang mendapat gelar Singhawardhana. Pejabat maupun rakyat Paguhan menampakkan raut berseri-seri karena Sri Singhawardhana resmi menduduki kursi agungnya. Sumana sangat dicintai rakyat sejak sebelum ia mendapat kursi itu, karena ia adalah bangsawan yang merakyat meski mulutnya lebih banyak diam. Aku mendengarnya dari Ni Wuri yang mendapat informasi dari kerumunan wanita di pasar. Sebelum menikah denganku dan tinggal di Kadatwan, Sumana sering kali berkeliaran sekitar Paguhan untuk mencari orang yang membutuhkan bantuan, entah di sawah, pasar, maupun hutan. Maka tak heran masyarakat ikut gembira atas naiknya ia menjadi pemimpin mereka.
Pesta malam digelar sebagai ungkapan terima kasih pada pejabat maupun rakyat yang telah membantu dan menyaksikan upacara. Alat musik ditabuh bersamaan sorak-sorai yang menggema sepanjang pelataran. Sementara itu, aku tak dapat menahan isakan dalam dekapan Sumana di dalam kamar. Aku masih belum mantap bahwa empat hari mendatang, aku pun akan dinobatkan menjadi Bhre Pajang.
"Jangan menangis, Nimas. Kita masih dapat bersemuka di Kadatwan dalam pertemuan Bhatara Saptaprabu. Dan kita masih bisa berkunjung ke tempat satu sama lain meski tak setiap hari." Sumana menepuk-nepuk bahuku.
"Aku akan merindukan Kangmas. Mengingat jarak Paguhan dan Pajang, aku kian makan hati." Isakku kian menjadi.
Aku tahu ini berlebihan, tetapi hanya aku sendiri yang memahami perasaan gundahku. Hatiku tak nyaman, tak biasanya aku merasa seperti ini. Semadi di Gua Sono membuat batinku lebih peka dan aku merasa akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan di masa mendatang. Aku tak mau Sumana terluka, aku tak mau berjauhan dengannya. Namun, apa boleh buat? Laku pemerintahan mesti dilakoni.
Dua hari lamanya aku menghabiskan waktu bersama Sumana di Paguhan. Hari pertama, aku membantu Sumana merapikan ruang kerjanya. Hari kedua kami menilik lingkungan seraya mendiskusikan cara untuk memajukan kesejahteraan rakyat.
Di tengah jalan yang diapit pohon jati, kami menangkap tangisan bocah yang rupanya bertimpuh di balik belukar. Aku tak sesigap Sumana yang lekas membopong anak perempuan itu.
"Yayi terluka?" Sumana mengelus belakang kepala anak itu yang menggeleng. "Di mana ibumu?"
"Mak ke pasar," jawab anak itu yang berangsur-angsur tenang.
"Kenapa kau bisa di sini?"
"Aku mau menyusul Mak karena takut sendirian di rumah, tapi kesasar."
"Siapa namamu?"
"Asmi."
Aku yakin bocah yang usianya berkisar lima sampai enam tahun itu cukup lama menangis di balik semak, terlihat dari sembapnya mata, seraknya suara, dan romannya yang pucat pasi. Bisa jadi ia mendekam di situ sejak pagi buta berhubung pasar selalu buka sebelum mentari terbit dan ibunya meninggalkannya di waktu itu.
"Rumahmu di arah mana?" Sumana masih mengusap surai ikal Asmi yang menggeleng dan mulai terisak lagi.
"Kita antarkan ke pasar saja. Mungkin ibunya masih di sana," usulku. Kemudian aku membuntuti Sumana yang berbalik menuju pasar.
Aku mengamatinya dari belakang. Tubuh kekar yang dibalut wesket merah itu menyembunyikan sebuah hati yang lembut, sanggup membuatku terenyuh dan merasa rendah diri. Aku sebagai perempuan tak segesit itu menolong anak kecil, bahkan aku mengakui bahwa aku bukan penyayang anak-anak. Namun Sumana kebalikannya. Caranya membopong Asmi mengingatkanku pada Ayahanda.
Asmi memanggil emaknya di antara lautan manusia, mustahil terdengar. Telunjuk mungilnya mengarah pada wanita telanjang dada yang tengah tawar-menawar harga gula jawa. Sumana bergegas menggandeng tanganku sementara tangan yang satunya tetap kukuh membopong si anak malang, menerobos kerumunan yang tak menyadari keberadaan pimpinan mereka akibat saking padatnya pasar.
"Mak!" Asmi menepuk bahu emaknya yang menengok kemudian membelalak, terlebih ketika melihat Sumana dan aku. Tatapanku mendarat pada buah dadanya yang tak tertutup kain. Hal itu sudah biasa di kalangan sudra, tetapi entahlah, aku terusik jika Sumana pun melihatnya.
"Ampun, Baginda." Sebelum ia bersujud di atas tanah, aku terlebih dahulu menahannya kemudian Sumana menurunkan Asmi yang bergegas memeluk ibunya sambil tersedu-sedan.
"Asmi tersesat di hutan karena menyusul Bibi. Lain kali, jangan tinggalkan Asmi sendirian meskipun ia belum bangun. Jika dirasa terlalu repot membawanya ke pasar, setidaknya Bibi dapat meminta bantuan seseorang untuk menjaga Asmi di rumah," tutur Sumana dengan nada yang tegas meski senyum tipis menghiasi sudut bibirnya.
Bibi itu tampak menggigil, menunduk tak berani melihat ke arah kami lagi. Aku mengusap pundaknya hingga dia mendongak, senyumku menular sebelum aku digandeng Sumana untuk berlalu, mumpung belum banyak yang menyadari keberadaan kami yang mencolok dengan perhiasan yang kami kenakan.
Sebelum benar-benar keluar pasar, sudut mataku menangkap penampilan yang begitu familier.
"Kangmas, menurutmu apakah itu benar Nira?" Aku masih menyipit ke arah perempuan yang berdiri di depan penjual kain.
"Aku tak mengenal siapa Nira." Meski begitu, Sumana mengizinkanku bertegur sapa dengan perempuan itu yang ternyata memang Nira. Ia membelalak seperti bibi tadi ketika melihatku bersama Sumana.
Aku hampir terjengkang ketika ia menubrukku dalam pelukan. Aku balas mendekapnya, wangi tubuh khas Nira merasuki penghidu. Ia membayar belanjaannya kemudian menuntunku dan Sumana untuk keluar area pasar yang pengap.
"Aku mendengar pernikahan kalian, tapi aku tak menyaksikan arak-arakan karena masih ada ujian silat di padepokan," kata Nira.
"Bukan masalah. Jadi kau masih berguru di Pawitra?" balasku.
Ia menggeleng. "Baru sepekan kemarin aku kembali ke sini, kampung halamanku. Kurasa ilmuku sudah cukup. Kautahu sendiri, lah. Semakin tinggi ilmuku, semakin sedikit lelaki yang berani melamarku." Kemudian kami terkikik bersama.
“Jodoh merupakan cerminan diri itu nyata, ya. Buktinya kemiripan antara kau dan Sumana terlihat seperti kakak beradik. Terlepas dari sifat kalian yang bertolak belakang,” ujar Nira yang tak kusahuti secara lisan.
Tentu saja kami mirip. Kami, kan saudara seayah.
Aku belum puas bertukar cerita dengan Nira, tetapi arah jalan pulang kami berlawanan. Lagi pula mentari kian tergelincir ke barat, sementara aku harus menyiapkan barang bawaanku untuk kubawa pulang besok pagi buta. Berhubung lusa aku pun naik takhta menjadi Bhre Pajang.
"Andai jarak Paguhan dan Pajang cukup dekat, aku pasti akan berkuda demi menyaksikanmu naik takhta," ujar Nira dengan kesenduan yang dibuat-buat.
"Kau bisa ikut rombongan kami besok pagi," tawar Sumana yang mungkin mengira kesedihan Nira sungguh-sungguh.
"Ah, sayangnya besok siang aku diminta Biyung untuk ke desa seberang."
Kami benar-benar berpisah tanpa menoleh meski rasanya berat.
"Kau seakrab itu dengannya, ya?" Sumana menatapku dengan manik gelapnya yang jernih.
"Dia satu-satunya sahabat dekatku. Kangmas tahu sendirilah seperti apa kehidupan istana hingga aku tak memiliki kawan." Aku balas menatapnya, kemudian hatiku lagi-lagi mengalami kegundahan yang aku sendiri tak tahu sebabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nertaja (Sang Rani Pajang)
Ficción históricaPara pujangga enggan menulis kisah Bhre Pajang, bahkan namanya pun jarang sekali dimuat dalam kakawin maupun serat. Begitu pula dengan puspa hatinya yang memang menghindari banyak perhatian. Padahal mereka masih memiliki darah biru yang kental dari...