Penyidikan tak lekas menjumpai titik terang meski pekan terus bergulir. Pembangunan tanggul urung terlaksana akibat warga tak mau membahas itu lagi. Agaknya mereka kuatir akan mendapat nasib serupa dengan Buyut Pambayun.
Tiga pekan berlalu semenjak pertemuan Bhatara Saptaprabu. Mau ditaruh di mana wajahku bila pertemuan kembali berlangsung dan aku masih memiliki satu kasus yang belum tuntas? Pemegang baluwarti yang dibantu Patih Yuwana tak menemukan hal mencurigakan dari orang istana yang memiliki potongan rambut cepak. Dan mereka telah mencari kawula berambut cepak di daerah-daerah sekitar Loh Wana, hasilnya pun nihil karena masyarakat pada umumnya berambut panjang. Aku menitahkan para pemegang baluwarti untuk memeriksa lebih jeli terutama di tempat-tempat yang memungkinkan pembunuh itu bersembunyi.
"Kakang, aku hendak menemui suamiku. Tolong siapkan pengawal secukupnya," ucapku di wisma Patih Yuwana yang setiap sisi dinding batanya tergantung ukiran wayang.
"Gusti yakin berangkat malam ini?" Patih Yuwana tampak sangsi.
"Malam ini. Sekarang," desakku.
"Sendika dhawuh, ingsun akan siapkan kereta kuda terlebih dahulu."
"Tak usah. Aku akan menunggangi Turangga Seta."
Kami keluar wisma, Patih Yuwana mendatangi para pengawal dan aku menghampiri Ni Wuri yang tengah mengelus surai Turangga Seta. Hatiku gundah gulana, adakalanya dadaku berdebar. Akan ada hal buruk. Lagi.
"Ni, doakan aku tiba di Paguhan dengan selamat."
"Selalu, Gusti. Tapi kenapa Gusti terburu-buru hingga tak menggunakan kereta kuda?"
"Aku perlu mengajak Turangga jalan-jalan."
Empat pengawal berada di depan, masing-masing membawa obor hingga kami dan tunggangan dapat melihat jalan. Patih Yuwana dan pengawal lain ada di belakangku, juga memegang obor meski sinar bulan cukup membuka jarak pandang. Kami terus memacu kuda dan istirahat ketika mentari menerobos pepohonan di pagi hari. Kubiarkan kuda-kuda memakan rumput di sekitar sungai sementara para pengawal membersihkan diri kemudian menyantap bekal.
Aku membersihkan diri di aliran sungai yang berbeda, sementara Patih Yuwana mengisi perut dengan memunggungiku biar tak melihat tubuhku sekaligus menjagaku. Setelah itu, kami kembali dan mendapati para pengawal sudah siap untuk melanjutkan perjalanan.
"Kalian pasti lelah. Tak apa jika ingin mengistirahatkan diri terlebih dahulu karena perjalanan akan berlanjut, hingga tengah hari nanti kita istirahat lagi," cetusku.
"Apakah Gusti sekarang hendak beristirahat?" tanya salah satu di antara mereka. Aku menggeleng, ia melanjutkan, "Kalau begitu, kami pun takkan terlelap sampai matahari mencapai puncak kepala."
Inilah yang membuatku menyukai pengawal meski berpangkat rendah. Setidaknya mereka benar-benar patuh dan menjagaku.
Benakku terlalu gundah untuk menikmati panorama selama perjalanan hingga tak terasa waktu menunjukkan tengah hari tetapi panas tak begitu terik. Kami rehat di bawah pepohonan yang sekiranya memberi keteduhan. Aku tertidur dan tak mengingat apa-apa.
Kecuali mimpi berkasih-kasihan dengan Sumana sebelum aku terbangun dan menyesali, mengapa itu cuma mimpi. Aku mendongak, mendapati matahari lebih condong ke barat, kemudian aku menitahkan pengawal dan Patih Yuwana yang tak tidur untuk membangunkan yang lain.
Kami melanjutkan perjalanan hingga permadani hitam kembali menyelimuti cakrawala. Aku mengamati raut pengawal yang menunjukkan kelelahan, dan aku sendiri pun pegal-pegal. Kami bermalam di penginapan yang memang khusus dibuat untuk kesatria ketika hendak istirahat di sela-sela perjalanan jauhnya.
Kami baru tiba di Keraton Paguhan ketika senja di hari berikutnya. Syukurlah hujan tidak turun selama perjalanan meski mendung kadang menghampiri. Aku melarang pengawal maupun dayang Paguhan memberitahu kedatanganku pada Sumana. Sementara pengawalku diberi jamuan, aku yang dibuntuti Patih Yuwana mencari Sumana di penjuru Keraton.
Ia tak ada di kursi kebesarannya, atau kamar, atau ruang kerja. Mungkin ia ada di taman memainkan seruling sembari menikmati senja. Langkahku mantap menuju ke taman, kulepas alas kaki supaya tak menimbulkan suara. Namun, alih-alih kedatanganku yang mengejutkan Sumana, lelaki itu malah membuatku tercengang sekaligus membenci senja yang menaungi taman.
"Gusti." Kudengar bisik Patih Yuwana yang sama tertegunnya hingga tak mampu mengutarakan kata lain.
Aku mengejap, pemandangan itu masih jelas terekam, menegaskan rangkulan Sumana terhadap perempuan yang bersandar di bahunya bukan cuma halusinasiku belaka.
"Kepala dingin, Gusti." Patih Yuwana mengingatkan, membuatku memendam bara yang membakar hatiku dan membuat mataku panas.
Aku mengangguk, menghela napas kemudian menarik langkah mendekati keduanya. Pengkhianatan ini kian jelas terpampang, kala jemari lentik menyusuri dada bidang suamiku, terus bergerak ke bawah dan semakin ke bawah. Aku mati-matian menahan diri untuk tidak menjambak rambut lurus pemilik jemari itu. Aku hendak melihat sejauh mana mereka bertindak, kemudian akan kuhancurkan momen itu ketika nafsu mereka di ujung tanduk.
Tak terhitung tetesan air mata yang merembesi kemban unguku. Tangan Sumana bergerak menyusuri wajah perempuan itu kemudian turun ke leher. Sebelum tangan itu memerosotkan kemban dan memegang dada perempuan itu, terlebih dahulu aku menyentuh pundak keduanya sembari tersenyum.
Mereka serempak menoleh, delikan mereka tampak buram akibat air mataku yang terus menggenang. Namun, aku dapat melihat dengan jelas setelah berkedip dan air mataku luruh. Nira, sahabat yang sama sekali tak kuduga akan mengambil puspa hatiku dengan begitu mudahnya. Kompak sekali mereka mengkhianatiku. Aku tak mampu mengucap sepatah kata pun. Aku kecewa, hatiku sudah seperti pecahan keramik. Terpecah belah, sakitnya tak terkira.
"Dinda Nertaja...." Sumana beranjak, netranya yang biasanya jernih, kini memerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nertaja (Sang Rani Pajang)
Fiction HistoriquePara pujangga enggan menulis kisah Bhre Pajang, bahkan namanya pun jarang sekali dimuat dalam kakawin maupun serat. Begitu pula dengan puspa hatinya yang memang menghindari banyak perhatian. Padahal mereka masih memiliki darah biru yang kental dari...