19. Surat dari Haru

67 16 2
                                    

"Bagaimana ini, Gusti?" seru Ni Wuri yang ke sekian kali.

"Cukup, Ni. Aku pun sedang memutar otak," tukasku.

Angan-angan berkelana selagi memindai asap hitam dari lampu semprong. "Pasti Ni Wuri tak pernah membersihkan lampu-lampu di kamar ini sampai sumbunya kotor." Ungkapanku itu sanggup membuat si empu terbungkam.

Aku tahu kegusaran Ni Wuri yang mengetahui kabar hangat tentangku bahwa utusan yang dikirim Raden Daksa mengantar gulungan lontar untukku. Meski surat itu masih ada di tangan Kanda selaku Maharaja Wilwatikta sekaligus kakandaku, aku maupun orang lain dapat menebak isi surat itu setelah Raden Daksa mendatangi Kadatwan sebanyak dua kali.

"Jika itu memang surat pinangan, aku hanya harus menolak, kan?" Aku berupaya menenangkan diri.

"Tidak semudah itu. Gusti harus mempertimbangkannya bersama yang lain terutama Rakryan Demung. Meski Gusti berniat menolak, tetapi citra Raden Daksa cukup baik bagi wargga ri jro berkat kerendahan hatinya," sanggahnya.

Rinai lepas ke tanah sepanjang malam yang tak membiarkanku terlelap pulas. Aku bimbang, Raden Daksa pribadi yang baik kurasa, tetapi di sisi lain aku masih memikirkan cinta pertamaku yang tanpa kepastian tetapi masih bersarang di hatiku.

Setelah ayam pertama berkokok, Kanda membawaku ke pendopo yang telah menjadi tempat pertemuan kami dengan Rakryan Demung dan seorang pendeta berkepala gundul. Aku langsung menangkap maksud pertemuan itu, tentu untuk membahas pinangan Daksa Mahaprana.

Perasaanku gamang, mendapati Rakryan Demung dan sang Pendeta menyatakan bahwa mereka setuju jika aku menikah dengan Raden Daksa karena pangeran itu baik dan mampu mengikat tali perdamaian antara Majapahit dengan Sakasanusa.

Aku mengerling pada Kanda yang memberi tatapan enggan padaku, meski mulutnya mengucap, "Bukan masalah jika Dinda sendiri menghendakinya sebagai pendamping hidup." Irisnya tak sulit dibaca, membiarkanku menyelami lubuk hatinya hingga menangkap ketidakpuasan terhadap keputusan dua pihak yang diajaknya berunding. Kepekaan Kanda tinggi, pasti ada sesuatu yang membuatnya kurang suka terhadap Raden Daksa.

Lagi pula, aku tak siap menikah dengan orang yang belum lama kukenal. Akhirnya, penolakan meluncur dari bibirku. Dihadiahi kerutan dari ketiga pihak di seberangku.

"Aku belum siap. Pernikahan belum terlintas dalam pikiranku."

***

Tak sempat aku bernapas lega barang sepekan. Penolakanku pada pangeran bergigi gingsul lalu mendatangkan karunia sekaligus petaka bagiku. Pasalnya, tanggapanku itu tersebar ke seantero negeri, membuat pangeran dari Kerajaan Haru⁴⁰ tergugah nyalinya untuk menundukkan hatiku.

Pengawal mengantarkan surat padaku, yang mampu membuat tanganku gemetaran akibat gugup. Tanpa berlama-lama, aku membuka gulungan lontar yang berisi untaian aksara indah.

Salam dari Marasi Juro Parulian, buat Adinda Dyah Nertaja yang menawan sangat. Sanda begitu palar menyambangi Adinda di Kadatwan Wilwatikta yang yojana kemilaunya berpendar sampai Haru. Sekiranya Adinda solak untuk berkenalan dengan sanda selaku cucu Raja Kembat, sanda hendak mendarat di Majapahit dalam waktu dekat. Sanda menanti warkat tanggapan dari Adinda Dyah Nertaja.

Aku menggulung kembali surat itu dengan perasaan campur aduk. Dadaku berdebar karena takut Pangeran Marasi itu benar-benar mendatangiku. Aku tak berniat membalasnya, tetapi dirasa kurang sopan mengabaikan penantiannya akan tanggapanku.

Hendak meminta saran kepada Kanda, tetapi urung karena ingat bahwa Kanda sedang sibuk dan banyak pikiran.

Aku merebah seraya memandang kasau yang menopang genting cokelat mengkilap di atas peraduan. Memikirkan balasan yang sesuai selama berjam-jam hingga burung pungguk menyadarkanku bahwa senja telah berlalu.

"Jika begini terus, aku takkan bisa tidur pulas. Lagi pula, ia hanya ingin berkenalan denganku, tak lebih."

Kuambil lembaran lontar dari laci meja, menggoreskan kata demi kata dalam bahasa Melayu semampuku.

Salam Kakanda Marasi suah Adinda terima. Tentu Adinda bersukacita apabila kita orang saling mengenal dengan bersemuka. Adinda berkenan menyambut Kakanda Marasi dari Kerajaan Haru yang sama penggahnya dengan Wilwatikta. Adinda nantikan kehadiran Kakanda melewati gerbang depan Majapahit, Gapura Wringin Lawang.

Aku keluar menemui pengawal yang bertugas mengirim surat. "Jika Paman masih butuh istirahat, antarlah surat ini esok hari. Jangan memaksakan diri Paman," kataku. Meski disegani, aku tak enak membiarkan seseorang mengantar gulungan berisi selembar surat malam-malam begini, sementara orang lain tertidur nyenyak.

"Ini sudah menjadi tugas hamba, Gusti. Setelah menyiapkan bekal, hamba akan berangkat malam ini juga ke Haru," balas pengawal itu kemudian menghaturkan sembah.

Di tengah lorong, aku mendapati kanda yang tak mengenakan mahkota serta emas yang saban hari menyertai gerak-geriknya.

"Dari mana Dinda hingga larut begini belum tidur?"

"Mengirim surat balasan untuk pangeran dari Haru."

Kanda lekas menyeretku menuju peraduanku. Ia membaca surat dari Raden Marasi seraya menukikkan alisnya yang tampak seperti ulat bulu.

"Apakah surat balasan dari Dinda pun berisi kata rayuan 'menawan sangat' seperti ini?"

"Bukan rayuan, Kanda. Itu hanya basa-basi belaka."

"Dinda selalu seperti itu. Menganggap sepele gombalan yang membuat Kanda khawatir."

"Tak perlu khawatir, Kanda. Dinda sudah besar, tahu maksud yang baik dan buruk."

_______

⁴⁰ Kerajaan Haru Terletak di Sumatra Utara

Nertaja (Sang Rani Pajang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang